Wednesday, February 18, 2009

Pengantar Hukum Internasional

A. Pengertian Hukum Internasional

Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.

Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.

Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)

Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya ”.

Sedang menurut Akehurst : “hukum internasional adalah sistem hukum yang di bentuk dari hubungan antara negara-negara”

Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya.

Salah satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh Charles Cheny Hyde :

“ hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup :

a. organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ;

b. peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional” (Phartiana, 2003; 4)

Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2)

Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.

Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana sebelumnya.

Mahkamah Internasional : Proses Beracara

PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL (ICJ); STUDI KASUS HAK INTERVENSI


Bab I
PENDAHULUAN

1Latar Belakang

Sejak dibentuk pada tahun 1945, Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice (ICJ), telah menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (contentious) maupun advisory1. Sebagai penerus dari PCIJ atau Permanent Court International of Justice yang didirikan pada tahun 1921, MI telah dianggap sebagai salah satu cara utama atau primary means untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia,

“The International Court of Justice is often thought of as the primary means for the resolution of disputes between states”2


Sebagai salah satu institusi hukum internasional, MI hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya3. Special Agreement atau perjanjian khusus tentang penundukan (consent to be bound) kepada jurisdiksi MI, harus terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara4. Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan Negara atau state sovereignty. Hakim Oda dalam keputusannya berkenaan tentang jurisdiksi MI berpendapat,

“When considering the jurisdiction of the International Court of Justice in contentious cases, I take as my point of departure the conviction that the Court’s jurisdiction must rest upon the free will of sovereign state, clearly and categorically expressed, to grant the Court the competence to settle the dispute in question”5


Proses beracara di MI hanya dapat dilakukan dengan adanya consent dari para pihak yang akan beracara. Consent ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will dari Negara yang terkait.
Dari syarat ini dapatlah dilihat bahwa MI menjunjung tinggi kedaulatan sebuah Negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebih jauh lagi, pengakuan MI akan kedaulatan Negara ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan MI. Keputusan yang dikeluarkan oleh MI hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.6
Sekilas mekanisme MI sangatlah ideal melihat dari sisi free will ketundukan negara sebagai pihak yang beracara dan kekuatan mengikatnya kepada para pihak yang bersengketa (disputant states). Akan tetapi persoalan akan timbul jika hasil keputusan MI berdampak kepada negara lain sebagai pihak ketiga yang tidak bersengketa (non-disputant states). Setidaknya ada dua persoalan penting yang timbul berkaitan dengan kondisi diatas. Pertama, kekuatan mengikat keputusan MI terhadap pihak ketiga yang tidak ikut beracara. Kedua, posisi pihak ketiga yang akan terkena dampak keputusan tersebut.
Melihat dari sisi ini, nampaknya asas konsensualisme atau free will tidaklah berlaku mutlak dalam proses beracara di MI. Keadaan free will hanya dapat dilakukan pada saat pertama pengajuan special agreement antara para pihak yang akan beracara.
Seperti layaknya pengadilan nasional atau domestic court, MI juga mempunyai mekanisme keterlibatan untuk pihak ketiga yang tidak menjadi pihak yang beracara. Salah satu mekanisme keterlibatan itu adalah dengan melakukan mekanisme intervensi.
Berbeda dengan special agreement yang menggunakan asas konsensualisme atas dasar free will ketika pertama kali mengajukan proses beracara, mekanisme intervensi lebih terkesan memiliki unsur pemaksaan.
Unsur pemaksaan ini didasari dari keputusan MI yang mempunyai dampak terhadap Negara ketiga yang bukan menjadi pihak yang beracara di MI. Walupun diatas kertas, Negara ketiga ini mempunyai pilihan untuk terlibat ataupun tidak terlibat dalam sebuah kasus yang diajukan di MI, akan tetapi secara realita adalah mustahil atau impossible jika Negara ketiga ini tidak ikut terlibat dalam proses beracara tersebut. Keputusan untuk tidak ikut terlibat dalam proses beracara di MI hanya akan membawa kerugian bagi Negara ketiga yang bersangkutan.
Keadaan free will yang pada awalnya menjadi dasar ketundukan berubah menjadi indirect forced will atau pemaksaan secara tidak langsung kepada non-disputant states yang terkena dampak hasil putusan tersebut.
Pemaksaan secara tidak langsung ini dapat dilihat pada kasus Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
Mulai dari jaman PCIJ sampai jaman MI, tercatat hanya enam kasus yang diintervensi oleh Negara ketiga.7 Dari kelima kasus intervensi yang pernah diajukan ke MI diatas, hanya dua kasus intervensi yang dikabulkan atau granted oleh MI. Kasus intervensi pertama yang dikabulkan MI adalah kasus Land, Island & Maritime Frontier 1990 dimana Negara ketiganya adalah Negara Nikaragua. Sedangkan kasus intervensi kedua yang dikabulkan adalah kasus Land & Maritime Boundary 1999, dimana Negara Equatorial Guinea menjadi Negara yang melakukan intervensi.
Berkenaan dengan hal ini, MI secara khusus telah mengatur mekanisme bagi negara ketiga untuk melakukan hak intervensi (right of intervention) atas sengketa yang sedang diajukan8. MI membagi dua jenis intervensi, yaitu intervensi atas dasar pasal 62 statuta MI dan intervensi atas dasar pasal 63 Statuta MI.

Bab II
PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL


1Dasar Hukum Beracara

Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional.9 Adapun kelima aturan tersebut adalah: Piagam PBB10 (1945), Statuta MI (1945), Aturan Mahkamah atau Rules of the Court (1970) yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000, Panduan Praktek atau Practice Directions I – IX dan Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).
Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 - 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68)
Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-rectroactive,


“…..The amended Rules shall come into force on 1 February 2001, and shall as from that date replace the Rules adopted by the Court on 14 April 1978, save in respect of any case submitted to the Court before 1 February 2001, or any phase of such a case, which shall continue to be governed by the Rules in force before that date”.11



Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.

2Para Pihak yang Beracara

Untuk kasus yang bersifat contentious, Statuta MI membatasi hanya Negara12 yang dapat beracara di MI.13 Ada tiga kategori Negara atau state yang dapat beracara di MI yaitu, kategori pertama adalah Negara Anggota PBB. Mengacu kepada pasal 35(1) dari Statuta MI dan pasal 93 (1) dari Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto terhadap statuta MI dan otomatis mempunyai akses ke MI. Kurang lebih ada 189 negara telah yang menjadi anggota PBB.
Kategori Negara yang kedua adalah Negara Bukan Anggota PBB akan tetapi party kepada Statuta MI. Selain itu Negara yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta MI dapat juga beracara di MI dengan persyaratan tertentu yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB.14 Adapun persyaratan yang dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta MI, Piagam PBB (pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan pengeluaran dari MI atas dasar pertimbangan Majelis Umum PBB.15
Kategori yang terakhir adalah Negara yang bukan anggota kepada Statuta MI.16 Untuk Negara-negara yang masuk dalam kategori ini harus membuat deklarasi17 untuk tunduk kepada segala ketentuan MI dan Piagam PBB (pasal 94),
“The International Court of Justice shall be open to a State which is not a party to the Statute of the International Court of Justice, upon the following condition, namely, that such State shall previously have deposited with the Registrar of the Court a declaration by which it accepts the jurisdiction of the Court, in accordance with the Charter of the United Nations and with the terms and subject to the conditions of the Statute and Rules of the Court, and undertakes to comply in good faith with the decision or decisions of the Court and to accept all the obligations of a Member of the United Nations under Article 94 of the Charter”18

Salah satu landmark case atau kasus utama berkaitan dengan status Negara untuk beracara di MI adalah kasus tentang Pelaksanaan dari Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Pembunuhan.19 Kasus ini mengetengahkan sengketa tentang penafsiran pasal 35 Statuta MI, siapa yang berhak menjadi pihak yang dapat beracara di MI, dalam hal ini, sengketa antara Bosnia-Herzegovina atau Yugoslavia. Pada keputusannya, MI menerima locus standi dari kedua pihak dengan dasar bahwa keduanya adalah anggota dari konvensi tersebut diatas.

3Jurisdiksi MI
Secara umum, jurisdiksi dapat diartikan sebagai kemampuan atas dasar hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum.20 Hal ini juga berlaku bagi MI dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk menyelesaikan sengketa atas dasar hukum internasional. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima jurisdiksi dari MI.21 Penerimaan jurisdiksi di dalam MI ini dapat dalam bentuk:

3.1Perjanjian Khusus atau Special Agreement
Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus22 yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa.23 Ada 14 kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihak untuk menerima jurisdiksi dari MI, yaitu kasus Asylum (Kolombia/Peru); Minquiers and Ecrehos (Perancis/Inggris); Sovereignty over Certain Frontier Land (Belgia/Belanda); North Sea Continental Shelf (Jerman/Denmark; Jerman/Belanda); Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya); Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area (Kanada/Amerika Serikat); Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta); Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali); Land, Island and Maritime Frontier Dispute (El Salvador/Honduras); Territorial Dispute (Libya Arab Jamahiriya/Chad); GabcĂ­kovo-Nagymaros Project (Hongaria/Slovakia); Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia); Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia); Corfu Channel (Inggris v. Albania); Arbitral Award Made by the King of Spain on 23 December 1906 (Honduras v. Nikaragua)24
3.2Ketundukan dari Perjanjian Internasional
Dalam bentuk ini, jurisdiksi MI ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk kepada jurisdiksi MI jika terjadi sengketa. Para pihak tinggal memakai dasar ketentuan dari perjanjian internasional tersebut yang mengharuskan untuk menerima jurisdiksi dari MI,
“The application shall specify as far as possible the legal grounds upon which the jurisdiction of the Court is said to be based; it shall also specify the precise nature of the claim, together with a succinct statement of the facts and grounds on which the claim is based”25

Kurang lebih ada 300 perjanjian internasional yang menerima jurisdiksi MI jika ada sengketa.26 Pada umumnya jurisdiksi MI dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional yang akan dimintakan kepada MI.27
3.3Deklarasi Ketundukan bagi negara Anggota Statuta MI

Pada bentuk ini, Negara yang menjadi anggota dari Statuta MI yang kemudian beracara di MI dapat dalam waktu yang tidak ditentukan untuk menyatakan ketundukannya ke MI28, jadi tanpa membuat perjanjian khusus terlebih dahulu atau bersifat compulsory ipso facto.29 Kurang lebih ada 60 negara di dunia yang memakai cara ini untuk menerima jurisdiksi dari MI. salah satu contoh adalah :
“I have the honour, by direction of the Minister for Foreign Affairs, to declare on behalf of the Government of Japan, that in conformity with paragraph 2 of Article 36 of the Statute of the International Court of Justice, Japan recognizes as compulsory ipso facto and without special agreement, in relation to any other State accepting the same obligation and on condition of reciprocity, the jurisdiction of the International Court of Justice, over all disputes which arise on and after the date of the present declaration with regard to situations or facts subsequent to the same date and which are not settled by other means of peaceful settlement. This declaration does not apply to disputes which the parties thereto have agreed or shall agree to refer for final and binding decision to arbitration or judicial settlement. This declaration shall remain in force for a period of five years and thereafter until it may be terminated by a written notice”.30

3.4Keputusan MI tentang Jurisdiksi MI
Jika terjadi sengketa mengenai jurisdiksi MI maka sengketa tersebut akan diselesaikan oleh keputusan MI sendiri.31 Para pihak dapat mengajukan preliminary objections atau keberatan awal atas jurisdiksi MI.32 Ada 26 kasus dimana diajukan keberatan awal atas jurisdiksi MI.33

3.5Interpretasi Putusan
Jurisdiksi MI dilihat dari Statuta MI, Pasal 60, dimana MI harus memberikan interpretasi jika diminta oleh baik satu maupun kedua pihak yang beracara. Cara permintaan interpretasi putusan tersebut dapat dalam bentuk perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa, ataupun aplikasi sendiri dari salah satu pihak yang bersengketa.34 Contoh kasus interpretasi putusan dilakukan oleh negara Kolombia pada kasus Asylum antara Kolombia melawan Peru dan juga negara Nigeria dalam kasus Land and Maritime Boundary antara Nigeria melawan Kamerun

3.6Revisi Putusan
Ketundukan pada jurisdiksi MI dengan cara ini adalah melalui aplikasi dengan syarat bahwa ada fakta baru (novum) yang belum diketahui MI dan para pihak ketika keputusan itu dibuat dan bukan karena ada unsur kesengajaan dari para pihak.35 Jangka waktu yang diberikan untuk revisi putusan adalah 10 tahun sejak keputusan dikeluarkan. Contoh untuk kasus revisi putusan adalah pada kasus Continental Shelf yang diajukan oleh negara Tunisia (Tunisia melawan Libya Arab Jamahiriya)

4Urutan Beracara di MI
Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious.

4.1Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application)

Bagian awal proses beracara dapat dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak.36 Karena tidak ada pembagian sebelumnya apakah negara A disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh Indonesia/Malaysia.
Selain penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal beracara di MI, yaitu dengan penyerahan aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan aplikasi berisikan identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan subjek dari konflik37, disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v. atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak yang bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia
Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent38 yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan.
Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release. Versi dua bahasa39 (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya.40 Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI.
Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings).41 Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis42 maupun presentasi pembelaan.43

4.2Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)
Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter Memorial).44 Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan Jawaban (Reply).45
Batasan waktu yang diberikan untuk menyusun memorial maupun tanggapan memorial ditentukan secara sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya. Ketentuan yang serupa juga berlaku dalam hal pemilihan bahasa resmi yang nantinya akan dipakai.
Sebuah memorial harus berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum yang relevan dan submissions46 yang diminta, sedangkan tanggapan memorial harus berisikan argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial, tambahan fakta baru jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta.47 Dokumen pendukung biasanya langsung menyertai memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam tahap tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan penjelasan yang relevan dari para pihak yang bersengketa48

4.3Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak tidak menentukan lain dan disetujui oleh MI.49
Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MI. Jika para pihak menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari MI,50 maka pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965.51
Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika MI beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat diperpanjang.52 Akan tetapi menurut Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut berada dibawah pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan pertimbangan MI,

“The oral statements made on behalf of each party shall be as succinct as possible within the limits of what is requisite for the adequate presentation of that party's contentions at the hearing. Accordingly, they shall be directed to the issues that still divide the parties, and shall not go over the whole ground covered by the pleadings, or merely repeat the facts and arguments these contain. The Court may at any time prior to or during the hearing indicate any points or issues to which it would like the parties specially to address themselves, or on which it considers that there has been sufficient argument."

4.4Perihal Khusus
Selain dari proses normal beracara di MI, juga ada perihal khusus yang dapat mempengaruhi jalannya proses beracara tersebut. Perihal tersebut adalah Keberatan Awal atau Preliminary Objection, Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan Sela/Sementara atau Provisional Measures, Beracara Bersama atau Joinder Proceedings dan Intervensi atau Intervention.
4.4.1Keberatan Awal (Preliminary Objections)
Keberatan awal diajukan oleh pihak yang dituduhkan atau respondent atas dasar aplikasi yang diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah MI dari proses pengambilan keputusan. Adapun alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal ini adalah bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi,53 aplikasi yang diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan oleh MI. Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal ini adalah antara lain bahwa MI akan menerima Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang diajukan dan menolak kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur dalam pasal 79 Aturan Mahkamah 1978.
4.4.2Ketidakhadiran Salah Satu Pihak (Non-Appearance)
Non-Appearance biasanya dilakukan oleh pihak respondent dengan dasar antara lain menolak jurisdiksi MI. Akan tetapi ketidakhadiran pihak respondent ini tidak menghentikan jalannya proses beracara di MI.54 Proses normal beracara baik tertulis maupun presentasi akan terus berjalan yang kemudian diberikan keputusan MI.
4.4.3Keputusan Sela/Sementara (Provisional Measures)
Jika pada suatu waktu dalam proses beracara terjadi hal-hal yang akan membahayakan subjek dari applikasi yang diajukan, maka pihak applicant dapat meminta MI untuk mengindikasikan usaha-usaha perlindungan (interim measures of protection) atau keputusan sela (provisional measures). MI dapat meminta para pihak untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan efektifitas keputusan MI atas permintaan Keputusan Sela tersebut.55 Ketentuan mengenai Keputusan Sementara ini diatur di dalam Aturan Mahkamah pasal 73-78


4.4.4Beracara Bersama (Joinder Proceedings)
Jika MI menemukan bahwa ada dua pihak atau lebih dari proses beracara yang berbeda, akan tetapi mempunyai argumen dan petitum yang sama atas satu pihak lawan yang sama, maka MI dapat memerintahkan adanya proses beracara bersama (joinder proceedings).56 Para pihak tersebut hanya bisa mempunyai satu hakim ad hoc57 dengan satu pembelaan baik tertulis maupun presentasi yang digabung untuk melawan satu pihak yang sama.
4.4.5Intervensi (Intervention)
MI memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan intervensi atas sengketa yang diajukan58. Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal nature interest yang akan terkena dengan adanya keputusan dari MI.59 Lebih jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada bab berikutnya.
4.5Keputusan (Judgment)
Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai. Pertama, para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir.60 Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai.61 Dan, ketiga, MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan.
Selain itu pendapat hakim MI dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting opinion, pendapat yang menyetujui tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate opinions62 dan pendapat yang menyetujui atau declarations.










Bab III

HAK INTERVENSI PADA MAHKAMAH INTERNASIONAL



1Definisi Umum

Secara umum, tidak ada perbedaan definisi hak intervensi dalam kerangka hukum nasional maupun hukum internasional. Turunan atau derivasi kata intervensi dalam bahasa Inggris yang relevan pada karya tulis ini adalah intervention atau intervensi dalam bentuk kata benda dan intervene atau meng-intervensi dalam bentuk kata kerja. Kedua kata turunan ini mempunyai arti yang berbeda. Arti kata intervention lebih menekankan pada sebuah prosedur, sedangkan kata intervene lebih menekankan pada perbuatan untuk mendapatkan ijin dari pengadilan untuk melakukan intervensi, intervensi adalah sebuah cara yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk ikut serta atas kepentingannya dalam sebuah proses beracara yang sedang berlangsung,

“ Intervention is the procedure under which a third party may join an on-going lawsuit, providing the facts and the law issues apply to the intervenor as much as to one of the existing contestants. The determination to allow intervention is made by a judge after a petition to intervene and a hearing on the issue. Intervention must take place fairly early in the lawsuit, shortly after a complaint and answer have been filed and not just before trial since that could prejudice one or both parties who have prepared for trial on the basis of the original litigants. Intervention is not to be confused with joinder, which involves requiring all parties who have similar claims to join in the same lawsuit to prevent needless repetitious trials based on the same facts and legal questions, called multiplicity of actions”63
“To intervene is to obtain the court's permission to enter into a lawsuit which has already started between other parties and to file a complaint stating the basis for a claim in the existing lawsuit. Such intervention will be allowed only if the party wanting to enter into the case has some right or interest in the suit and will not unduly prejudice the ability of the original parties to the lawsuit to conduct their case”64

Perbedaan mendasar yang menjadi karakter hak intervensi dalam hukum internasional adalah ketundukan pihak yang melakukan intervensi. Jika kita mengambil pandangan dari sisi hukum nasional, intervensi dilakukan dengan dua cara yaitu sukarela atau voluntary dan wajib atau oligatory. Hal ini berbeda jika kita mengambil pandangan dari hukum internasional berkenaan dengan intervensi, yaitu dilakukan secara sukarela atau voluntary atas dasar konsesualisme65
Sekilas persamaan hak intervensi dalam kerangka hukum nasional dan hukum internasional adalah bahwa hak intervensi sama-sama didasarkan dari kebutuhan untuk menghindari penuntutan ulang atau repetitive litigation.66 Jika ada beberapa kasus membahas permasalahan yang sama, maka hampir dapat dipastikan bahwa akan terjadi hasil yang bertentangan atau contradictory. Hal ini hanya akan memberikan ketidakjelasan hukum atau law obscurity dari hukum yang berlaku. Hakim Oda melihat kepentingan intervensi dalam hal penuntutan ulang ini dari segi economy of international justice, menunjuk pada sisi kemudahan beracara.67
Sejarah intervensi dalam kerangka hukum internasional dimulai pada tahun 1899 dan 1907 ketika perumusan konvensi multilateral tentang Pacific Settlement of International Disputes di Den Hag, Belanda.68 Kemudian pada tahun 1920, jenis kedua dari intervensi terbentuk. Ketentuan bahwa sebuah Negara dapat melakukan intervensi jika kepentingan Negara tersebut terkena dampak dari sebuah putusan mahkamah, termaktub di dalam pasal 62 Statuta PCIJ. Dari titik ini hak intervensi kemudian berkembang seiring dengan kasus-kasus yang diajukan. Perlu diingat bahwa MI menganut system precedent, yaitu sistem yang memakai putusan-putusan terdahulunya atau past decisions sebagai bahan pertimbangan untuk keputusan yang akan diambil.69
Kasus intervensi yang pertama adalah kasus tentang Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamihiriya pada tanggal 14 April 1981. Di dalam kasus ini MI memutuskan secara mutlak untuk menolak aplikasi intervensi Negara Malta. Kasus yang kedua tentang intervensi adalah kasus Continental Shelf antara Libya Arab Jamahiriya dengan Malta pada tanggal 21 Maret 1985, dimana MI kembali menolak aplikasi Negara Italia untuk melakukan intervensi. Keputusan kasus ke 2 diambil secara voting dengan 11 melawan 5 suara, berbeda dengan kasus yang pertama dimana secara mutlak menolak aplikasi Negara Malta.
Hak intervensi dalam hukum internasional mengalami perkembangan pada kasus ketiga, dimana aplikasi Negara Nikaragua di dalam kasus Land, Island and Maritime Frontier Dispute dikabulkan oleh MI. Keputusan yang dikeluarkan pada tanggal 13 September 1990, diambil secara mutlak atau unanimous. Keputusan sama yang mengabulkan intervensi oleh Negara ketiga kembali dikeluarkan pada kasus Land and Maritime Boundary antara Negara Kamerun dan Nigeria tertanggal 21 Oktober 1999. Dalam kasus ini Negara Equatorial Guinea mendapat ijin untuk melakukan intervensi pada kasus diatas.
Kasus yang paling akhir berkenaan dengan intervensi adalah kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, 2001 antara Negara Malaysia dan Indonesia. Di dalam kasus ini Negara Filipina megajukan hak intervensinya berkenaan dengan klaim Kalimantan Utara (North Borneo). MI, dengan voting 14 melawan 1 suara, menolak aplikasi Negara Filipina untuk melakukan intervensi.

2Hukum Internasional tentang Intervensi
Ada dua aliran berkenaan dengan intervensi dalam hukum internasional, aliran yang mendukung dan yang menolak intervensi.
2.1. Aliran yang mendukung intervensi.
Aliran ini mempunyai pendapat antara lain sebagai berikut, pertama dari segi efektifitas. Intervensi akan berguna dalam arti baik yang menghilangkan kasus-kasus yang mempunyai objek sama maupun keputusan yang berbeda dalam kasus yang sama.
Kedua dari segi kepentingan umum, yaitu tentang waktu penyelesaian kasus untuk menghindari kemungkinan kontorversi yang ada atau Interest rei publicae ut sit finis litium.70 Kemudian jika melihat dari perkembangan hukum internasional, Intervensi bukan hanya menyelesaikan sengketa (Solving) akan tetapi juga pencegahan sengketa (Prevention).
Lebih jauh, intervensi memberikan MI kesempatan yang lebih banyak dalam rangka menarik negara-negara untuk menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa.71 Selain itu, intervensi juga memberikan MI pertimbangan hukum yang lebih objektif dengan masuknya pihak ketiga ke dalam proses beracara yang tengah berlangsung.
2.2 Aliran yang menolak intervensi
Aliran ini mempunyai pendapat sebagai berikut, pertama evolusi sejarah memperlihatkan bahwa hukum internasional lebih memilih diam atau reticence berkenaan dengan intervensi pihak ketiga di dalam sebuah penyelesaian hukum.72
Kedua, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan intervensi ketika hak intervensi tidak dibatasi, maka kemungkinan negara ketiga untuk melakukan intervensi akan lebih banyak.73 Kemudian pihak ketiga dapat memanipulasi hak intervensi dengan cara mendapatkan quasi-advisory opinion, tetapi tidak terikat untuk melaksanakan kewajiban dari keputusan MI.74
Sebaliknya, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan proses beracaranya, intervensi akan menyebabkan Negara cenderung untuk tidak menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa jika intervensi tidak dibatasi. Dan yang terakhir, walaupun keputusan MI hanya mengikat pihak yang bersengketa, akan tetapi pada faktanya pihak ketiga dapat terkena dampak putusan MI
2Jenis Intervensi dan Dasar Hukum

MI membagi hak intervensi dalam dua ketegori yaitu, hak intervensi sebuah Negara atas keputusan sebuah kasus MI dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.

3.1Intervensi atas keputusan sebuah kasus MI
Secara preseden, kasus pertama intervensi jenis ini dilakukan dihadapan MI pada tahun 1981, kasus Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya, dimana Negara malta sebagai pihak yang melakukan intervensi. Jenis intervensi ini diatur di dalam pasal 62 dari statuta MI, yaitu :
“Should a state consider that it has an interest of a legal nature which may be affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to be permitted to intervene”75
“It shall be for the Court to decide upon this request”76

Lebih jauh lagi, hak intervensi jenis ini diatur dalam Aturan Mahkamah, 1978 di dalam pasal 81, 83, 84 dan 85. Mengacu dari pasal-pasal tersebut diatas, pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal, yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum atau “interest of legal nature”, objek yang jelas dan pasti atau “precise object” dan hubungan jurisdiksi atau “jurisdictional link”.

3.1.1Kepentingan yang mempunyai karakter hukum

Kelemahan atau plaucity dari elemen ini adalah bahwa tidak ada definisi yang jelas, dalam hukum internasional yang berkenaan dengan kata “interest of legal nature”.77 Setiap Negara bebas menginterpretasikan kepentingannya dalam mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di MI. Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan memberikan pernyataan yang sama berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum. Akan tetapi, ada beberapa pedoman yang telah berkembang di dalam hukum internasional tentang intervensi, yaitu :
3.1.1.1Kepentingan umum yang mungkin mendapatkan dampak dari keputusan MI78
3.1.1.2Kepentingan politik atau sosial79
3.1.1.3Kepentingan tentang perkembangan umum dari hukum atau “general development of law”80
3.1.1.4Kepentingan tentang penggunaan prinsip dan aturan umum hukum internasional pada kasus yang dimintakan intervensi81
3.1.1.5Kepentingan tentang hukum yang dipakai MI di dalam kasus lain82
3.1.2Objek yang jelas dan pasti
Elemen ini lebih menekankan pada diskresi dari MI atas pengajuan sebuah intervensi. Tidak ada, baik aturan maupun preseden MI yang mengatur lebih lanjut berkenaan dengan objek yang jelas dan pasti dalam hak intervensi.
3.1.3 Hubungan Jurisdiksi
Ada dua hal yang cukup menarik mengenai elemen ketiga dari hak intervensi ini. Pertama berkenaan dengan persetujuan dari pihak yang bersengketa terhadap intervensi tersebut, dan kedua tentang kekuatan mengikat dari putusan yang akan dibuat MI kepada pihak yang mengajukan intervensi tersebut.

3.1.3.1Persetujuan dari pihak yang bersengketa

Ada perubahan mendasar dalam hukum internasional mengenai persetujuan dalam hak intervensi. Secara sejarah, persetujuan dari pihak yang bersengketa kepada pihak yang akan melakukan hak intervensi adalah obligatory,

“the voluntary intervention of a third party is admissible only with the consent of the parties that have concluded the compromise”83


Kemudian paradigma ini berubah seiring dengan perkembangan hukum internasional. Pasal 62 dari Statuta MI tidak menyebutkan adanya keharusan untuk mendapat persetujuan dari pihak yang bersengketa guna melakukan sebuah hak intervensi.84 Jika sebuah Negara beranggapan bahwa kepentingannya akan terkena dampak dari sebuah keputusan MI, maka Negara tersebut mempunyai hak untuk melakukan intervensi.
3.1.3.2Kekuatan mengikat putusan MI terhadap pihak yang mengajukan intervensi

Tidak ada ketentuan yang menyebutkan adanya keharusan untuk menjadi party dalam proses beracara bagi pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pihak ketiga dapat memilih untuk menjadi full party atau tidak dalam pengajuan intervensinya. Konsekwensi yang timbul akibat kondisi ini adalah bahwa sebuah Negara yang melakukan intervensi tetapi tidak consent untuk menjadi full party tidak terikat pada keputusan MI yang dibuat.

“a state permitted to intervene under Article 62 of the statute, but which does not acquire the status of party to the case, is not bound by the judgment in the proceedings in which it has intervened”85


Keputusan MI hanya mengikat pada pihak yang bersengketa dan pada kasus yang tersebut saja.86 Akan tetapi jika hakim Oda berpendapat bahwa pihak ketiga tidak akan mendapat keadilan yang sama dibanding dengan pihak yang bersengketa jika tidak menjadi full party di dalam kasus yang sedang diproses,

“the intervening state will thus been able to protect its own rights merely so far as the judgment declines to recognize as countervailing the rights of either of the original litigant states. On the other hand, to the extent that the Court gives judgment positively recognizing rights of either of the litigant states, the intervening state will certainly lose all present or future claims in conflict with those rights.”87


Menjadi full party atau tidak, nampaknya bukan suatu hal yang berpengaruh positif kepada pihak ketiga. Hal ini disebabkan karena walaupun pihak ketiga menyatakan tidak menjadi full party pada kasus yang sedang diproses, pihak ketiga tetap akan bound pada keputusan MI tersebut. Di dalam preseden kasus yang berkenaan intervensi, hakim Oda berpendapat bahwa,

“Nicaragua, as a non-party intervener, will certainly be bound by the judgment in so far as it relates to the legal situation of the maritime spaces of the Gulf”88

Belum ada konsensus para hakim MI tentang urgensi adanya hubungan jurisdiksi dalam pengajuan hak intervensi jenis ini yang akan membawa pengaruh yang signifikan dalam penentuan apakah sebuah hak intervensi dapat dikabulkan atau tidak.89

3.2Intervensi atas konstruksi sebuah perjanjian internasional

Kasus pertama mengenai intervensi jenis ini terjadi di kasus S.S. Wimbledon.90 Pasal 63 dari Statuta MI menyebutkan,
“Whenever the construction of a convention to which states other than those concerned in the case are parties is in question, the Registrar shall notify all such states forthwith”.91
“Every state so notified has the right to intervene in the proceedings; but if it uses this right, the construction given by the judgment will be equally binding upon it”.92

Ketentuan lain yang mengatur hak intervensi jenis ini terdapat dalam Aturan Mahkamah, 1978, pasal 82, 83, 84, 86. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hak intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional mempunyai elemen-elemen yaitu, pertama hanya Negara yang menjadi party dari konvensi yang dapat mengajukan hak intervensi jenis ini, dan kedua keputusan MI yang diambil mengikat kepada pihak yang melakukan intervensi seperti pada pihak yang beracara di sengketa tersebut.
Berbeda dengan jenis intervensi yang pertama, intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional ini belum membawa perdebatan yang substantial. Hal ini mungkin lebih disebabkan oleh sedikitnya kasus yang berkenaan dengan jenis intervensi ini.
Hubungan jurisdiksi tidak menjadi isu yang signifikan karena ketentuan yang jelas bahwa hanya Negara yang party dari perjanjian tersebut yang dapat melakukan intervensi. Selain itu keputusan MI pada pihak yang melakukan intervensi jenis ini, mengikat seperti pada pihak yang beracara, jadi sifat dari intervensi ini adalah obligatory setelah consent untuk melakukan intervensi. Hal ini berbeda dengan jenis intervensi atas dasar impact keputusan MI yang diberikan pilihan untuk tunduk atau tidak sebagai party dalam kasus yang sedang berjalan.
4Mekanisme untuk Mengajukan Hak Intervensi

Untuk lebih memudahkan, pembahasan tentang mekanisme mengajukan hak intervensi dibagi atas dua bagian sesuai dengan jenis intervensi yang diatur di dalam pasal 62 dan 63 dari statuta MI. Baik jenis intervensi atas dasar sebuah keputusan MI ataupun atas dasar konstruksi perjanjian internasional, ketentuan pasal 38 dari Aturan Mahkamah tentang permulaan beracara atau institution of Proceedings harus diikuti

4.1Intervensi atas dasar sebuah keputusan MI
4.1.1Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :

4.1.1.1Nama wakil yang mengajukan aplikasi
4.1.1.2Kepentingan yang mempunyai karakter hukum
4.1.1.3Objek yang jelas dan pasti
4.1.1.4Dasar jurisdiksi atau hubungan jurisdiksi yang diklaim antara pihak yang mengintervensi dan pihak yang bersengketa
4.1.1.5Dokumen pendukung yang relevan93

4.1.2Waktu Pengajuan
Waktu pengajuan yang diperbolehkan dalam intervensi jenis ini adalah secepat mungkin atau as soon as possible dan sebelum waktu pembelaan tertulis atau written proceedings ditutup. Pengecualian untuk kondisi tertentu, exceptional circumstances, aplikasi dapat diajukan pada tahap yang berikutnya94

4.2Intervensi atas dasar konstruksi Perjanjian Internasional

4.2.1Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
4.2.1.1Nama Wakil yang mengajukan aplikasi
4.2.1.2Ketentuan yang menyebutkan bahwa Negara yang melakukan intervensi adalah party dari konvensi yang menjadi objek sengketa
4.2.1.3Identifikasi dari ketentuan konvensi yang menjadi objek intervensi
4.2.1.4Pernyataan atau pendapat tentang objek intervensi
4.2.1.5Dokumen pendukung yang relevan95

4.2.2Waktu Pengajuan
Waktu pengajuan yang diperbolehkan pada dasarnya sama dengan intervensi jenis pertama (pasal 62) yaitu secepat mungkin dan sebelum tanggal dimulainya pembelaan presentasi atau oral presentation. Kondisi pengecualian seperti pada intervensi jenis pertama juga berlaku pada jenis intervensi ini96

Setelah diajukan, register akan mengatur pembagian administratif dari aplikasi tersebut yang kemudian MI akan menentukan tanggal dimana para pihak yang bersengketa akan memberikan pendapat tertulis mereka atau written observations. Jika terjadi keberatan atau objection dari baik satu maupun pihak yang bersengketa atas intervensi yang diajukan, maka MI akan mendengarkan seluruh pendapat dari para pihak yang bersengketa dan pihak yang mengintervensi.97
Jika intervensi atas dasar keputusan MI dikabulkan atau granted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa. Selain itu pihak yang melakukan intervensi juga dapat memberikan pernyataan tertulis, written statement, dalam waktu yang ditentukan MI. Para pihak yang bersengketa berhak memberikan pendapat tertulis atas pernyataan tertulis dari pihak yang melakukan intervensi, dengan jangka waktu yang ditentukan oleh MI sebelum dimulainya waktu presentasi pembelaan. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek sengketa.98
Jika intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional diterima atau admitted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa dan berhak memberikan pendapat tertulisnya berkenaan dengan objek dari intervensi yang bersangkutan dalam waktu yang ditentukan MI. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek intervensi.99


Bab IV

STUDI KASUS HAK INTERVENSI



1.Kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya), Intervensi Malta, 14 April 1981100

1.1.Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini dimulai tanggal 1 Desember 1978 antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya. Subjek yang diajukan ke MI adalah mengenai perbatasan dasar benua atau delimitation of continental shelf antar kedua Negara tersebut. Pada tanggal 30 Januari 1981, Malta mengajukan intervensi atas kasus tersebut dengan dasar pasal 62 dari ketentuan Statuta MI. Keberatan atas intervensi ini diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Setelah melalui proses hearing, kemudian MI memutuskan untuk menolak intervensi yang diajukan Malta secara mutlak atau unanimous dengan Keputusan MI tertanggal 14 April 1981.


1.2.Analisa Kasus

Mengacu kepada ketentuan Aturan Mahkamah, 1978 pasal 81 paragraf 2 tentang intervensi, setiap Negara ketiga yang bermaksud untuk mengajukan hak intervensi harus mencantumkan kepentingan hukum atau interest of legal nature, objek yang jelas dan pasti atau precise object of intervention dan dasar hubungan jurisdiksi atau base for jurisdictional link. Setelah melihat aplikasi intervensi Malta dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, MI sampai pada satu kesimpulan jika salah satu keberatan yang diajukan terbukti, maka MI tidak akan melanjutkan untuk membuktikan keberatan-keberatan yang lain dan menolak intervensi Malta.
Pada dasarnya Malta mengklaim mempunyai kepentingan pada kemungkinan-kemungkinan atau possible concern dari MI yang akan mengindentifikasi dan mempelajari faktor-faktor geografis dan geomorfis dari dasar benua yang disengketakan,


“Any findings of the Court that identified and assessed the geographical and geomorphological factors relevant to the delimitation of the Libya/Tunisia continental shelf and with any pronouncements made by the Court regarding, for example, the significance of special circumstances or the application of equitable principles in that delimitation”101


Lebih jauh lagi, possible concern itu juga dapat berupa keputusan-keputusan MI yang akan memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan hukum Malta jika Malta bermaksud untuk membuat batas dasar benua terhadap salah satu atau kedua pihak yang bersengketa. Selain itu Malta juga membuat reservasi tertulis yang menyatakan bahwa intervensi yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk membuat klaim baru atas subjek yang disengketa-kan. Melihat dari tanggal pengajuan, Malta tidak melewati waktu pengajuan intervensi, yaitu sebelum berakhirnya waktu pembelaan tertulis.102
Berdasarkan permintaan tersebut MI berpandangan bahwa aplikasi yang diajukan Malta adalah sebuah kesempatan untuk melawan keputusan MI dalam penggunaan suatu kriteria tertentu atas kasus tersebut. Kemudian MI memutuskan jika intervensi atas dasar ini dikabulkan, maka akan terjadi ketidakpastian hukum dari para pihak yang bersengketa, yaitu batasan atas kepentingan hukum yang harus diajukan jika salah satu pihak ikut beracara tanpa ada klaim yang dipertahankan atas subjek sengketa. Selanjutnya MI berpendapat bahwa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi atau future implications tidak dapat dijadikan kepentingan dari sisi hukum untuk pengajuan sebuah intervensi. MI mengambil dasar pada putusan PCIJ tahun 1922 yang menjadi pedoman MI yaitu untuk tidak berusaha menyelesaikan permasalahan yang mungkin terjadi,

“It should not attempt to resolve in the Rules of the Court the various questions which have been raised, but leave them to be decided as and when they occurred in practice and in the light of the circumstances of each particular case”103

Syarat kedua dan ketiga dari intervensi yaitu precise object dan jurisdictional link, tidak dilanjutkan dibahas oleh MI karena salah satu keberatan yang diajukan kedua pihak yang bersengketa telah terbukti.
Keputusan MI yang menolak intervensi Malta adalah cukup rasional, walaupun secara geografis letak Negara Malta dapat terkena dampak seperti yang dimaksud dalam pasal 62 statuta MI. Kepastian hukum tidak akan ada jika ada sebuah Negara ketiga yang ikut beracara tanpa ada klaim atau petitum atas subjek sengketa.104
Harus juga diingat bahwa kasus Intervensi Malta ini adalah kasus pertama yang berkenaan dengan jenis intervensi pasal 62 atau intervensi atas dasar keputusan MI yang diajukan ke MI. Penerapan ketat yang dilakukan MI atas pasal 62 pada kasus ini menggambarkan pandangan hukum internasional yang masih cenderung menolak kehadiran pihak ketiga untuk ikut beracara dalam sebuah penyelesaian sengketa.105


2.Kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Intervensi Italia, 21 Maret 1984106

2.1.Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus kedua berkenaan dengan intervensi masih berkisar tentang batas kontinen, yang kali ini diajukan oleh Libya Arab Jamahiriya dan Malta. Berdasarkan pada perjanjian khusus kedua belah pihak, pemberitahuan bersama atau joint notification disampaikan kepada register MI pada tanggal 26 Juli 1982. Pada tanggal 24 Oktober Negara Italia mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 dari statuta MI. Proses hearing yang mendengarkan pendapat dari para pihak dan pihak ketiga dimulai tanggal 25 Januari 1984. Kemudian pada tanggal 21 Maret 1984, MI mengeluarkan keputusan untuk menolak aplikasi intervensi Italia dengan perbandingan suara 11 melawan 5.

2.2.Analisa Kasus
Pengajuan intervensi yang dilakukan Italia memenuhi persyaratan formal untuk sebuah intervensi.107 Dalam kasus ini, MI tidak memberikan pendapat tentang syarat yang ketiga yaitu jurisdictional link. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa syarat pertama dan kedua telah tidak terpenuhi dalam aplikasi intervensi dari Italia. Selain itu, alasan MI menolak untuk memutuskan tentang status jurisdictional link dari Italia adalah karena mengadopsi preseden yang telah diambil pada kasus sebelumnya, yaitu intervensi dari Malta pada tahun 1981.

2.2.1.Kepentingan Hukum atau Interest of a Legal Nature

Dari sisi ini, MI diminta untuk memberikan perlindungan seperti yang termaktub dalam pasal 62 statuta MI dengan cara mencegah dampak yang mungkin terjadi atas sebuah keputusan yang dikeluarkan. Italia meminta MI untuk melindungi hak-haknya. Dari permintaan yang relatif cukup umum ini membawa konsekwensi praktek beracara MI untuk mengindentifikasi hak-hak dari Italia. Untuk mengindentifikasikan hak-hak dari Italia, maka MI juga harus mengindentifikasi hak-hak dari baik Libya maupun Malta sebagai pihak yang bersengketa.
Berdasarkan permintaan ini, MI berpandangan bahwa untuk menentukan hak-hak Italia dan hak-hak Negara yang bersengketa, secara otomatis akan melibatkan hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut. MI tidak dapat menilai hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut tanpa persetujuan yang Negara bersangkutan. Jika MI mengabulkan intervensi Italia, berarti MI telah melanggar azas konsensualisme yang menjadi dasar beracara di MI.108


2.2.2.Objek yang pasti dan jelas atau Precise Object of Intervention

Selain akan membuat sengketa baru atau fresh dispute jika intervensi Italia dikabulkan, objek yang diajukan Italia juga tidak termasuk dalam past decisions dari MI yang berkenaan dengan intervensi. Kasus preseden MI tentang intervensi hanya menunjuk pada perlindungan hak, bukan pada identifikasi hak, seperti yang terjadi pada kasus Italia,

“…, since the only cases of intervention afforded by that Article [62] would be those in which the intervener was only seeking the preservation of its rights, without attempting to have them recognized.”109


MI melihat objek intervensi dari Italia tidak masuk dalam kategori precise object seperti dalam pasal 81 Aturan Mahkamah. Tidak ada dalam baik wording maupun preseden MI yang mengatakan bahwa pasal 62 Statuta MI dimaksudkan sebagai cara alternatif untuk mengajukan sengketa baru ke MI.


3.Kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute (El Savador/Honduras), Intervensi Nikaragua, 13 September 1990110


3.1.Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini diajukan kepada Register MI pada tanggal 11 Desember 1986, 2 tahun stelah kasus intervensi Italia tahun 1984. Objek sengketa pada kasus ini adalah Teluk Fonseca, yaitu batas daratan dan status hukum atas pulau dan daerah maritim dari Negara Honduras dan El Savador. Pada tanggal 17 November 1990, Nikaragua mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 Statuta MI. Keputusan MI atas intervensi Nikaragua secara mutlak adalah mengabulkan intervensi Nikaragua pada tanggal 13 September 1990.


3.2.Analisa Kasus
Kasus intervensi Nikaragua ini adalah kasus pertama dalam sejarah MI dimana sebuah Negara ketiga dikabulkan untuk melakukan hak intervensinya. Di dalam kasus ini juga mulai dapat disimpulkan bahwa MI tidak mempersoalkan hubungan jurisdiksi dalam jenis intervensi pasal 62 (intervensi atas Keputusan MI).111

3.2.1.Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature

Untuk sebuah intervensi dapat dipertimbangkan, pihak ketiga harus memperlihatkan adanya kepentingan hukum yang akan terkena dampak keputusan dari sebuah sengketa yang sedang diajukan. Beban pembuktian atau burden of proof, menurut hemat MI, berada pada pihak ketiga yang melakukan intervensi, bukan di MI. Pembuktian yang dimaksud hanya untuk memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kepentingan hukumnya mungkin akan terkena dampak keputusan yang akan diambil MI, bukan harus maupun yang akan terkena dampak. Disini pembuktian hanya didasarkan pada kemungkinan yang relatif lebih mudah untuk dibuktikan,

“In the Chamber’s opinion, it is clear, first, that it is for a state seeking to intervene to demonstrate convincingly what it asserts, and thus to bear the burden of proof, and second that it has only to show that its interest “may” be affected not that it will or must be affected”112



Di dalam kasus intervensi Nikaragua ini, MI menentukan bahwa ada tiga klaim dimana Nikaragua harus memperlihatkan kemungkinan terkena dampak keputusan MI, yaitu Keadaan Hukum atau Legal Situations dari pulau-pulau, Perairan Dalam dan Luar teluk Fonseca. Dari ketiga klaim tersebut, Nikaragua hanya mampu untuk memenuhi satu klaim, yaitu berkenaan tentang kondisi hukum di perairan dalam teluk. Akan tetapi , walaupun hanya satu klaim yang dapat dipenuhi, MI mengabulkan intervensi dari Nikaragua ini.

Jika melihat secara sejarah, memang Teluk Fonseca ini telah diputuskan oleh Central American Court of Justice sebagai sebuah historic bay yang mempunyai karakteristik sebuah laut tertutup atau closed sea. Lebih jauh lagi diputuskan oleh institusi yang sama bahwa teluk Fonseca itu dimiliki oleh tiga Negara secara bersama atau co-ownership, yaitu Negara El savador, Honduras dan Nikaragua. Sesuai dengan pasal 38 statuta, MI mengambil keputusan ini sebagai subsidiary means dan dianggap sebagai sebuah keputusan yang objektif.

3.2.2.Objek yang Jelas dan Pasti atau Precise Object of Intervention

Nikaragua mengajukan dua klaim untuk persyaratan yang kedua ini, yaitu untuk melindungi hak-hak hukumnya dan untuk memberikan informasi kepada MI berkenaan dengan hak-hak hukum Nikaragua atas Teluk Fonseca,

“First, generally to protect the legal rights of the Republic of Nicaragua in the Gulf of Fonseca and the adjacent maritime areas by all legal means available, and second to intervene in the proceedings in order to inform the Court of the nature of the legal rights of Nicaragua which are in issue in the dispute. This form of intervention would have the conservative purpose of seeking to ensure that the determination of the Chamber did not trench upon the legal rights and interests of the Republic of Nicaragua..”113


Atas pertimbangan MI, kedua klaim tersebut diputuskan sebagai objek yang sesuai dengan persyaratan intervensi yang kedua yaitu precise object of intervention. Secara logika, memang objek yang diajukan Nikaragua relatif lebih mudah dan tidak membuat sebuah kasus baru atau fresh dispute seperti yang diajukan oleh kasus-kasus intervensi yang terdahulu.


3.2.3.Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link


Posisi MI tetap sama berkenaan dengan persyaratan ketiga yaitu bahwa hubungan jurisdiksi bukan sesuatu yang signifikan yang dapat mempengaruhi pertimbangan sebuah hak intervensi. MI kembali menegaskan alur logika atau logical links bahwa jika setiap Negara yang akan melakukan intervensi harus mempunyai hubungan jurisdiksi dengan Negara yang bersengketa, maka akan terjadi pemaksaan ketundukan ke MI, atau dengan kata lain bertentangan dengan asas konsesualisme yang menjadi dasar proses beracara di MI.
Dari seluruh reasoning MI yang berkenaan dengan hubungan jurisdiksi dalam hak intervensi, maka dapat diambil sebuah pedoman umum yang menggambarkan sistem hukum yang dipakai MI, yaitu system common law yang menekankan pada sumber persuasif keputusan-keputusan sebelumnya. Pedoman itu terlihat dari indikasi bahwa walaupun dalam aturan mahkamah, 1978 jelas tertulis kata “shall” yang berarti suatu keharusan bagi Negara ketiga untuk mempelihatkan hubungan jurisdiksi, tetapi dari keputusan yang telah dibuatnya hubungan jurisdiksi bukan merupakan suatu yang penting.114


4.Kasus Land & Maritime Boundary (Kamerun/Nigeria), Intervensi Equatorial Guinea, 21 Oktober 1999115


4.3.Posisi dan Keputusan Intervensi
Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Nigeria dan Kamerun yang meminta MI untuk memutuskan batas daerah dan maritim Bakassi Peninsula. Kasus ini dimulai tanggal 29 Maret 1994 dengan Aplikasi Kamerun dimana Nigeria mengajukan keberatan awal atau preliminary objection. Setelah Nigeria memberikan consent ke MI, maka kemudian MI mulai memeriksa kasus yang diajukan.
Lima tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1999, Negara Equatorial Guinea mengajukan intervensi dengan dasar pasal 62 yaitu intervensi atas keputusan MI. Aplikasi hak intervensi Negara Equatorial Guine dikabulkan secara mutlak oleh MI dengan putusannya tanggal 21 Oktober 1999.


4.4.Analisa Kasus

Salah satu alasan yang cukup mendasar berkenaan tentang kasus ini adalah bahwa secara tidak langsung Negara ketiga diundang atau invited untuk melakukan hak intervensi dengan putusan MI tentang keberatan awal dari Nigeria,

“ The Court notes that the geographical location of the territories of the other states bordering the Gulf of Guinea…, demonstrates that it is evident that the prolongation of the maritime zones where the rights and interests of Cameroon and Nigeria will overlap those of other states.”116


Lebih jauh lagi, kedua Negara yang bersengketa baik Kamerun maupun Nigeria tidak mengajukan keberatan atas aplikasi intervensi yang diajukan oleh Equatorial Guinea.
Di sini Equatorial Guinea secara spesifik menyatakan bahwa kepentingan hukumnya lebih terletak pada batas maritim dari Bakassi Peninsula. Pada poin ini, kembali kedua Negara yang bersengketa tidak mengajukan keberatan atas hal tersebut,


“…which could allow the court to better informed on the general background of the case and to determine more completely the dispute submitted to it.”117


“Whether or not Equatorial Guinea’s application is accepted, it will in Nigeria’s view make no difference to the legal position of Nigeria to the present proceedings, or to the jurisdiction of the court. On that basis, Nigeria leaves it to the court to judge whether and to what extent it is appropriate or useful to grant Equatorial Guinea’s Application.”118


Pada kasus ini, tidak lagi dibahas tentang convincing demonstration yang diperlukan untuk memenusi syarat pertama ini, seperti pada kasus terdahulunya. Dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa MI mengabulkan aplikasi Equatorial Guinea in advance dengan undangan tidak langsungnya kepada Negara ketiga untuk melakukan intervensi.
Untuk persyaratan yang kedua, posisi MI menjadi lebih permanen dengan menggunakan dasar kasus terdahulunya berkenaan tentang precise object yaitu untuk memberikan informasi agar MI dapat lebih memutus dengan objektif atas kasus yang disengketakan. Hal yang sama juga dapat dilihat dari signifikansi hubungan jurisdiksi yang tidak menjadi keharusan untuk pihak ketiga dalam melakukan hak intervensi.





5.Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Malaysia/Indonesia), Intervensi Filipina, 12 Oktober 2001119

5.3.Posisi dan Keputusan Intervensi
Indonesia dan Malaysia sebagai para pihak yang bersengketa memulai beracara di MI pada tanggal 2 November 1998. Objek sengketa dalam kasus ini adalah kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tanggal 13 Maret 2001, Negara Filipina mengajukan aplikasi untuk melakukan intervensi atas dasar pasal 62. Sebelum mengajukan aplikasi tersebut, Filipina meminta salinan pembelaan dan dokumen terkait pada tanggal 22 Februari 2001 dengan dasar pasal 53 paragraf 1 Aturan Mahkamah. Kemudian, permintaan tersebut ditolak MI. Penolakan inilah yang nantinya menjadi salah satu argument dasar dari pihak Filipina. MI menolak intervensi Filipina atas kasus kedaulatan dari Pulau Sipadan dan Ligitan dengan keputusannya tanggal 23 Oktober 2001.

5.4.Analisa Kasus
Sebelum masuk ke pembahasan inti dari tiga persyaratan utama dalam pengajuan hak intervensi, ada baiknya jika melihat terlebih dahulu keberatan yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa atas intervensi yang dilakukan. Keberatan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, in casu Indonesia dan Malaysia terhadap aplikasi intervensi Filipina adalah bahwa Aplikasi Filipina terlambat diajukan120 dan dalam aplikasinya Filipina tidak memasukan daftar dokumen pendukung.121
Dalam putusannya MI menyatakan bahwa aplikasi Filipina tidak melanggar ketentuan pasal 81 paragaf 1, karena dari para pihak sendiri belum memberikan pernyataan yang tegas tentang akhir dari pembelaan tertulis. MI melihat bahwa dari perjanjian khusus yang ditandatangani para pihak, masih ada kesempatan untuk melakukan tahap akhira dari proses pembelaan tertulis. Baru pada tanggal 28 Maret 2001 para pihak yang bersengketa memberikan pernyataan untuk tidak meneruskan proses pembelaan terulis, sedangkan aplikasi Filipina diajukan pada tanggal 13 Maret 2001, walaupun akhir dari putaran ketiga pembelaan tertulis berakhir pada tanggal 2 Maret 2001. MI melihat bahwa pemberitahuan para pihak akan telah selesainya proses pembelaan tertulis memang harus ditentukan dan dinyatakan.122
Untuk klaim yang kedua yaitu tidak memasukan daftar dokumen pendukung, MI juga memutuskan sama, yaitu Filipina tidak melanggar pasal yang terkait, karena maksud dari pasal 81 paragraf 3 tersebut adalah bahwa hanya jika ada dokumen pendukung maka daftar dokumen tersebut harus disertakan. Tidak ada kewajiban bagi Negara yang melakukan intervensi untuk menyertakan dokumen pendukung aplikasinya.

5.4.1.Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature

Berkenaan dengan kepentingan hukum ini, Filipina mengajukan kepentingan hukumnya yaitu pada perjanjian-perjanjian dan bukti-bukti lain yang berkaitan dengan sengketa diatas. Lebih jauh lagi, Filipina mengajukan dua klaim untuk kepentingan hukumnya, yaitu interpretasi kata decision atau keputusan yang termasuk didalamnya reasoning atau analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut, dan sifat kepentingan hukum yang dapat mendasari suatu hak intervensi terjadi.
Untuk klaim yang pertama menggunakan dasar pasal 62 dengan referensi pasal 59 bahwa bukan saja hanya keputusan atau decision dari MI, akan tetapi juga analisa atau reasoning yang dapat membawa dampak pada kepentingan hukum Filipina. Dalam kaitannya dengan klaim ini, MI setuju dengan klaim Filipina karena jika mengambil textual interpretation dari redaksional kata decision, maka harus dilihat dari naskah aslinya yaitu naskah dalam Bahasa Perancis yang mempunyai arti lebih luas termasuk pada analisa dari keputusan tersebut.
Melihat dari kesamaan pandangan MI dengan Filipina, nampaknya akan membawa sedikit masalah untuk kasus-kasus yang nantinya akan diajukan ke MI. Tidak jelas mana yang lebih kuat sifat persuasive antara keputusan dengan analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut,

“…but, to interpret a decision as including “reasoning” might somehow stymie the Court in the performance of its judicial function in a particular case and place too onerous a burden on States by requiring them to be extra vigilant for fear of what the Court’s reasoning might be in particular case”.123


Analisa disini juga diartikan sebagai separate dan dissenting opinion dari para hakim MI. Selain itu, kemungkinan untuk intervensi akan semakin terbuka dengan adanya unsure analisa yang dapat dijadikan dasar atas dampak yang mungkin didapati atas suatu kasus. Akan tetapi, jika melihat dari sisi pertimbangan hukumnya, memang MI dapat lebih mendapatkan pertimbangan hukum jika unsur analisa mempunyai kedudukan yang sama dengan keputusan.
Dalam proses keseluruhan beracara, Filipina tidak dapat membuktikan kepentingan hukum yang akan terkena dampak, baik dari unsur keputusan maupun unsur analisanya.
Klaim yang kedua mengenai sifat kepentingan hukum dari intervensi, MI melihat bahwa sifat kepentingan hukum untuk melakukan intervensi harus mengacu langsung kepada perihal atau objek sengketa. Hal ini didukung oleh mayoritas klaim dari Negara yang diperbolehkan melakukan intervensi, kasus Nikaragua dan Equatorial Guinea. Untuk klaim yang kedua ini, kembali Filipina gagal menunjukan kepentingan hukum yang mengacu langsung kepada inti sengketa. Unsur convincing demonstration kembali diambil sebagai dasar oleh MI dalam memutus klaim ini.


5.4.2.Objek yang jelas dan pasti atau Precise Object of Intervention

Filipina mengajukan tiga objek berkenaan dengan aplikasi intervensinya, yaitu:

“First, to preserve and safeguard the historical and legal rights of the Government of the Republic of the Philippines arising from its claim to dominion and sovereignty over the territory of North Borneo, to the extent that these rights are affected, by a determination of the Court of the question of sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan; Second, to intervene in the proceedings in order to inform the Honourable Court of the nature and extent of the historical and legal rights of the Republic of the Philipines which may be affected by the Court’s decision; and third, to appreciate more fully the indispensable role of the Honourable Court in comprehensive conflict prevention and not merely for the resolution of legal disputes.”124



Untuk objek yang pertama dan kedua, MI mengambil formulasi yang sama dari keputusan terdahulunya tentang intervensi, bahwa melindungi dan memberikan informasi kepada MI atas hak-hak hukum yang ada, adalah diperbolehkan.125 Sedangkan untuk objek yang ketiga, karena dalam proses pembelaan presentasinya Filipina tidak menjelaskan serta menguatkan objeknya tersebut, maka MI menolak objek ketiga tersebut.

5.4.3.Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link

Seperti yang telah diputuskan pada kasus terdahulunya, tidak diperlukan adanya hubungan jurisdiksi dalam sebuah aplikasi intervensi dengan catatan bahwa Negara yang mengajukan intervensi tidak mempunyai maksud untuk ikut beracara di dalam MI. Pada kasus ini Filipina dengan jelas menyebutkan untuk tidak menjadi pihak yang bersengketa.126 Hubungan Jurisdiksi diperlukan hanya jika pihak yang melakukan intervensi bermaksud untuk menjadi pihak yang bersengketa dan maksud tersebut disetujui oleh para pihak yang sedang bersengketa.127

Definisi Kejahatan Perang

MENDEFINISIKAN KEJAHATAN PERANG, WEWENANG SIAPA?


Perang dunia kedua telah berakhir lebih dari 50 tahun, namun konflik bersenjata masih mewarnai hubungan internasional, baik pada level domestik maupun antarnegara. Penganut realis percaya bahwa konflik bersenjata sebagai salah satu mekanisme “hubungan kekuasaan” adalah instrumen yang rasional dalam hubungan internasional. Tetapi, seiring dengan kemajuan peradaban, konflik bersenjata seharusnya dikelola agar lebih manusiawi dan beradab.

Hukum humaniter internasional diharapkan menjadi pengelola dan pengendali efek destruktif konflik bersenjata. Perang yang disebabkan oleh berbagai faktor (miskomunikasi, mispersepsi, pergeseran perimbangan kekuasaan, dan lain-lain) adalah refleksi keinginan elit dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, perang atau konflik bersenjata seharusnya dilakukan oleh instrumen formal, yaitu para kombatan. Warga sipil dan fasilitas non militer seharusnya terbebas dari destruksi akibat perang.

Aturan perang yang beradab dituangkan dalam Konvensi Jenewa 1949, yang secara umum mencakup dua hal, yaitu: (1) perlindungan terhadap semua orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam perang, dan (2) pelarangan penggunaan senjata dan metode perang yang tidak dapat dikendalikan. Sebanyak 194 negara telah meratifikasi konvensi ini, meskipun tidak semua protokol tambahan dan konvensi pendukung turut diratifikasi. Perkembangan mutakhir pengarusutamaan (mainstreaming) hukum humaniter internasional adalah Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Crime, ICC) yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 2002 sebagai implementasi Statuta Roma 1998. Yurisdiksi ICC mencakup kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace), kejahatan perang (war crime), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Sampai bulan Mei 2008 statuta ini baru diratifikasi oleh 106 negara. Beberapa negara yang seringkali dikiritik sebagai pelaku pelanggaran dalam konflik bersenjata belum bersedia meratifikasi, antara lain: China, Haiti, India, Israel, Korea Utara, Mozambique, Pakistan, Rusia, Rwanda, Somalia, Sudan, Sri Lanka, termasuk Amerika Serikat (lihat website International Committee of the Red Cross).

Persoalan selanjutnya berkaitan dengan efektifitas implementasinya. Jika kita cermati, diantara begitu banyak dugaan pelanggaran hukum humaniter internasional, hanya sebagian kecil saja yang berkonsekuensi pada pengajuan pelaku-pelakunya ke Pengadilan Kejahatan Internasional. Setelah perang dunia kedua, implementasi yang nyata adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Yugoslavia, ICTY) pada tahun 1993, dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR) pada tahun 1994.

Sementara itu, berbagai kejahatan perang yang berindikasi pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh negara-negara besar tidak tersentuh sama sekali. Contoh yang nyata adalah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama Perang Vietnam dan Perang Iraq yang mengakhiri kekuasaan Saddam Hussain, dimana pada kedua kasus ini Amerika Serikat (AS) terlibat.

VIETNAM DAN IRAQ

Perang Vietnam (1957–1975) melibatkan dua pihak, yaitu Republik Vietnam atau Vietnam Selatan (didukung AS, Australia, Filipina, Selandia Baru, dan Thailand) dan Republik Demokratik Vietnam atau Vietnam Utara (didukung Uni Sovyet, Republik Rakyat China, dan Korea Utara). Peperangan yang berakhir dengan kekalahan Vietnam Selatan ini memakan korban sekitar 300.000 jiwa di pihak Vietnam Selatan dan lebih dari 600.000 jiwa di pihak Vietnam Utara. Selain itu, peperangan ini juga memakan korban sipil lebih dari 1 juta jiwa.

Indikasi-indikasi pelanggaran hukum humaniter internasional dalam perang ini antara lain: penyerangan terhadap warga sipil, penggunaan senjata yang dilarang, perkosaan, dan penganiayaan tahanan perang. Pelanggaran-pelanggaran tersebut sebagian besar dilakukan oleh tentara AS yang dimobilisasi besar-besaran.

Salah satu pelanggaran tentara AS adalah penggunaan bom bakar napalm yang membakar dan menghanguskan hidup-hidup ratusan penduduk sipil, serta penggunaan senjata biologis herbisida antara tahun 1971–1973. Pemerintah AS secara resmi memberi instruksi kepada perusahaan kimia Dow Chemical dan Monsanto untuk mengembangkan senjata tersebut. Sebagai respon terhadap ketakutan pada bom dan senjata kimia, tentara Vietnam Utara menggali ratusan kilometer lorong-lorong perlindungan di bawah tanah. Begitu perang berakhir, ditemui ratusan lorong yang saling berhubungan.

Sementara dalam kasus Iraq, Amerika bertindak unilateral menggulingkan rejim Saddam Hussain, dengan tuduhan memiliki senjata pemusnah massal, yang tidak pernah terbukti. Saddam Hussain dimajukan ke hadapan pengadilan domestik dengan tuduhan pelanggaran terhadap kemanusiaan selama masa kekuasaannya, yang berakhir dengan hukuman gantung bagi Saddam pada Hari Raya Idul Adha akhir tahun 2006.

Berbagai tudingan pelanggaran oleh AS seringkali terdengar. Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, misalnya, meyakini bahwa tentara AS yang bertindak atas perintah Presiden Bush membunuh lebih banyak warga sipil Iraq dibandingkan Saddam Hussain selama berkuasa. Menurut Mahathir, lebih dari 500 ribu anak-anak tewas akibat strategi perang yang keliru di Iraq. Bahkan, mengutip laporan yang dimuat Jurnal Kesenjataan Lancet, lebih dari 650 ribu warga sipil Iraq tewas sejak invasi AS pada tahun 2003.

Kedua kasus ini adalah indikasi bahwa implementasi hukum humaniter internasional tidak lebih dari instrumen politik internasional negara besar. Sebagaimana hukum internasional umumnya, persoalan kewenangan mendefinisikan terjadinya pelanggaran dan ketiadaan otoritas yang benar-benar netral untuk mengimplementasi prinsip-prinsip hukum humaniter internasional masih menjadi kendala utama. Sehingga, tidaklah mengherankan jika negara-negara di dunia melibatkan pertimbangan aspek kepentingan nasional dalam melakukan ratifikasi berbagai konvensi dan aturan dalam hukum humaniter internasional.

Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo pada tahun 1945, yang menjadi yurisprudensi pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional, adalah “pengadilan untuk pecundang”. Jerman dan Jepang adalah negara yang kalah dalam perang dunia kedua, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan politik apapun untuk membela diri. Sayangnya, dua prinsip penting yang dihasilkan dari dua pengadilan ini, yaitu individual responsibility dan command responsibility, diberlakukan selektif untuk negara-negara yang secara politis lemah. Prinsip-prinsip ini dijadikan alasan oleh negara-negara yang memiliki kepentingan politik untuk mengajukan negara lain ke mahkamah kejahatan internasional.

AS dapat dikatakan kalah dalam Perang Vietnam. Sementara dalam Perang Iraq, AS telah menggunakan strategi perang yang salah, yang menyebabkan lebih banyak korban sipil. Tetapi negara ini memiliki sumber daya politik internasional yang begitu dominan untuk menghindari tudingan kejahatan perang. Peristiwa-peristiwa tersebut akhirnya makin memperkuat thesis penganut realis, bahwa interaksi antarnegara akan didominasi oleh konsideran-konsideran kepentingan nasional. Bahkan prinsip-prinsip hukum internasional sekalipun, sesungguhnya hanyalah instrumen bagi negara-negara yang memiliki power untuk melanggengkan peranan mereka dalam dunia internasional. Sampai kapan sistem seperti ini akan berlangsung?

***

REFERENSI

“What is International Humanitarian Law”, Advisory Service on International Humanitarian Law, ICRC, 07/2004.

http://www.eramuslim.com, “Mahathir Muhammad: Presiden AS Lebih Banyak Bunuh Rakyat Irak Dibandingkan Saddam”, edisi Rabu, 3 Januari 2007.

Kaligis, O.C., “Perang, Genocida dan Hipokrisi AS”, Harian Sinar Harapan, Kolom Opini, Senin, 24 Pebruari 2003.

Roberts, Adam, “The Role of Humanitarian Issues in International Politics in The 1990s”, International Review of the Red Cross, 31 March 1999, Nr. 833, p. 19-43.

Website International Committee on Red Cross (http://www.icrc.org), “State Parties to the Following International Humanitarian Law and Other Related Treaties as of 5 May 2008”, di akses pada tanggal 10 Mei 2008.

Yudhawiranata, Agung, “Tentang Pengadilan HAM Internasional”, Makalah, Training Hukum dan HAM untuk Dosen Pengajar Hukum HAM di Universitas Negeri dan Swasta di Indonesia, PUSHAM UI–Norwegian Center for Human Right, 23–27 Januari 2006.

Terorisme Dalam Hukum Internasional

LATAR BELAKANG MASALAH

Aksi terorisme modern internasional yang pertama terjadi pada tanggal 22 Juli 1968, yaitu ketika tiga orang dari kelompok Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) membajak sebuah penerbangan komersil Israel El Al yang sedang terbang dari Roma, Italia ke Tel Aviv, Israel. Aksi ini menjadi sorotan dunia internasional karena secara jelas menggambarkan sebuah kegiatan yang mempunyai tujuan-tujuan politis dan menggunakan kekerasan dalam mewujudkan tujuan tersebut [1][1].
Selang 53 tahun kemudian, tepatnya tanggal 11 September 2001, dunia internasional kembali dikejutkan dengan sebuah aksi terorisme yang fenomenal. Tiga pesawat penerbangan komersil Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakan ke menara kembar Twin Towers World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon. Dikenal dengan sebutan Tragedy 911, kejadian ini menjadi titik tolak persepsi dunia internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk memerangi terorisme.
Kerugian yang disebabkan oleh terorisme adalah sangat signifikan baik secara finansial maupun nyawa [2][2]. Dari sisi inilah kemudian dunia internasional mempunyai kepentingan bersama atau common interests untuk mengatasi permasalahan dari terorisme.
Keinginan bersama ini dituangkan dalam berbagai peraturan internasional, mulai dari Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, atau lebih dikenal dengan Hague Convention tahun 1970 sampai ke Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 1368 tanggal 12 September 2001 yangl berkaitan dengan tragedi 911. Peran hukum internasional, terlepas dari faktor kepatuhan dan pelaksanaannya, menjadi sangat penting mengingat urgensi dari permasalahan terorisme ini.
Secara historis, terorisme mempunyai sejarah yang sangat panjang sampai ke masa Yunani Kuno ketika Xenophon menulis tentang efektifitas perang psikologi terhadap populasi musuh. Setiap aksi terorisme mempunyai tujuan dan motivasi berbeda-beda, mulai dari tujuan umum sampai tujuan khusus yang berbeda menurut keadaannya. Hoffman dalam bukunya menerangkan bahwa :
“The goals and motivations of terrorists…,vary widely, from such grand schemes as the total remaking of society along doctrinaire ideological lines of the fulfilment of some divinely inspired millenarian imperative to comparatively more distinct aims such as the re-establishment of a national homeland or the unification of a divided nation.” [3][3]
Sedikit sulit untuk menentukan secara sosiologis apakah terorisme itu merupakan suatu hal yang negatif atau positif. Pada waktu Revolusi Perancis tahun 1789-1793, terorisme dikenal sebagai suatu konotasi yang positif. Terorisme dikenal sebagai sistem atau regime de la terreur yang pada waktu itu berarti mekanisme untuk menumpas musuh rakyat,
“Hence, unlike terrorism as it is commonly understood today, to mean a revolutionary or anti-government activity undertaken by non-state or subnational entities, the regime de la terreur was an instrument of governance wielded by the recently established revolutionary state. It was designed to consolidate the new government’s power by intimidating counter-revolutionaries, subversives and all other dissidents whom the new regime regarded as ‘enemies of the people’.” [4][4]
Hal ini berbeda dengan pengertian umum tentang terorisme sekarang ini, yaitu antara lain adalah sebuah kebijakan untuk menyerang orang-orang yang melawan kebijakan tersebut, penggunaan metode intimidasi, meneror ataupun kondisi yang terteror [5][5]. Dari penjelasan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa telah terjadi sebuah perubahan makna yang cukup fundamental dengan istilah terorisme secara umum.
Terlebih lagi jika terorisme dikaitkan dengan agama sebagai dasar untuk melakukan aksi terorisme tersebut. Ketika kekecewaan secara internasional untuk sebuah perlakuan adil tereskalasi sehingga pada satu titik puncak dimana hal tersebut menjadi alasan pembenar untuk meminta keadilan versi dirinya sendiri. Segala tindakan yang bersifat ketidakadilan digunakan untuk meminta keadilan yang tidak terpuaskan. Dari sinilah timbul aksi-aksi yang mempunyai potensi destruktif yang lebih dikenal dengan istilah terorisme.

PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, tulisan ini akan lebih menekankan pada aspek hukum internasional mengenai terorisme. Aspek tersebut menyangkut baik tentang teori maupun praktek dari hukum internasional yang berkaitan dengan terorisme dengan mengambil contoh tragedi 911 di Amerika Serikat. Kemudian setelah itu akan dilihat dari sisi negara Indonesia dan segala tuduhan akan terorisme dari beberapa negara di dunia. Perumusan masalah tulisan ini adalah sebagai berikut \
1. Bagaimana terorisme muncul sebagai suatu gerakan yang mempunyai potensi destruktif yang sangat besar, termasuk dalam pertanyaan ini adalah mengenai motif dan tujuan dari terorisme ?
2. Bagaimana dunia internasional melalui hukum internasional mengatur mengenai terorisme dan implikasi hukum apa saja yang timbul akibat pengaturan internasional tersebut ?
3. Bagaimana sikap dan kebijakan politik luar negeri Indonesia berkaitan dengan permasalahan terorisme dan segala tuduhan yang menyangkut terorisme di Indonesia ?

DEFINISI TERORISME
Terorisme Secara Umum
Pada saat ini tidak ada definisi hukum secara universal mengenai istilah terorisme. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan mengenai pelaksanaan suatu aturan kepada suatu hal yang belum jelas definisi hukumnya. Pembuktian akan suatu hal akan menjadi sulit ketika hal tersebut belum mempunyai definisi secara hukum.
Kurang lebih ada lima usulan definisi tentang terorisme, baik dari negara-negara maupun organisasi internasional seperti PBB. Dari kelima usulan tersebut, usulan yang mempunyai cakupan lebih luas adalah usulan dari konsensus akademis tahun 1999, yaitu :
“Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby—in contrast to assassination—the direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threat—and violence—based communication processes between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought” [6][6]
Sedikitnya ada tiga elemen yang harus dipenuhi untuk dapat memenuhi unsur definisi diatas, yaitu Motif Politik, Rencana atau Niat, dan Penggunaan Kekerasan.
Jika dicermati definisi hukum terorisme ini, maka dapat dilihat bahwa definisi ini hanya melihat dari sisi aksi kekerasan atau violent action dari terorisme. Hal ini dapat diartikan bahwa jika sebuah tindakan yang tidak memakai aksi kekerasan tetapi mempunyai efek yang sama, tidak masuk dalam definisi hukum tersebut diatas. Secara hipotetis, jika seorang ahli komputer menyerang atau melakukan hacking, terhadap sebuah alat transportasi massal, yaitu kereta api yang memakai sistem komputer. Tindakannya berakibat bertabrakannya dua buah kereta api tersebut sehingga menimbulkan korban jiwa, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan ahli komputer tersebut tidak masuk dalam kategori aksi terorisme karena dia tidak melakukan tindakan kekerasan yang diharuskan dalam definisi hukum diatas.
Dalam kerangka hukum internasional, sebuah perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional [7][7], hanya dapat berlaku untuk suatu negara jika negara itu tunduk pada perjanjian tersebut atau consent to be bound [8][8]. Jika dikaitkan dengan permasalahan definisi hukum terorisme, maka secara teoritis dapat dengan mudah diambil suatu ketundukan pada suatu definisi hukum akan terorisme. Akan tetapi secara praktis, sangatlah sulit untuk melihat ketundukan suatu negara terhadap sebuah perjanjian internasional, mengingat posisi setiap negara yang mempunyai kedaulatan yang sama [9][9] dalam hukum internasional dan setiap negara harus menghormati kedaulatan negara lain [10][10].
Pihak dalam Terorisme
Dalam praktik setidaknya ada tiga pihak yang selalu berkaitan dengan terorisme, yaitu grup teroris itu sendiri, negara yang mendukung teroris, dan negara yang memerangi teroris. Baik negara yang mendukung maupun memerangi terorisme dapat dikatakan sebagai sesuatu yang pasti ada dalam terorisme. Peran kedua negara ini sangatlah berbeda, yaitu bahwa negara yang mendukung terorisme akan memberikan safe heaven, atau kemudahan baik dalam bentuk dukungan maupun materil, sementara negara yang memerangi adalah negara yang menolak dengan segala cara baik dengan menangkap ataupun menghukum terorisme.
Perbedaan ideologi ditambah dengan kepentingan politik membuat kesenjangan yang sudah ada menjadi lebih runcing dan memicu adanya gerakan terorisme [11][11]. Pada akhirnya, mungkin gerakan terorisme menjadi sebuah gerakan semu yang sudah terpengaruh dengan ideologi negara yang mendukung gerakan tersebut.

PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG TERORISME
Konvensi Internasional
PBB sebagai salah satu organisasi internasional di dunia telah menjadi pusat pengkajian akan perjanjian-perjanjian internasional yang berkenaan dengan terorisme. Ada 12 perjanjian internasional yang berkaitan dengan terorisme, walaupun sangat terbatas, yaitu [12][12] :
1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (“Tokyo Convention,” 1963).
2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague Convention,” 1970)
3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (“Montreal Convention,” 1971)
4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973)
5. International Convention Against the Taking of Hostages (“Hostages Convention,” 1979)
6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials Convention,” 1980)
7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, (1988)
8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (1988)
9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988)
10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection (1991)
11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997 UN General Assembly Resolution)
12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (1999) Cyber-terorisme

Selain kurang efektifnya pengaturan internasional karena didasarkan pada pelaksanaannya yang masih sangat memprihatinkan, dunia internasional nampaknya harus bekerja keras untuk memprediksi jenis aksi-aksi terorisme di masa depan. Aksi terorisme di masa depan dapat dipastikan lebih destruktif dengan cara yang lebih modern, yaitu tehnologi komputer.
Untuk saat ini belum ada konvensi internasional yang mengatur mengenai terorisme dengan alat tehnologi komputer, atau lebih dikenal dengan cyber-terorisme. Ketergantungan dunia yang global akan komputer membuat rentan sistem akses pada teknologi internet,
“The vulnerabilities created by access to information, and to information architecture, outstrip by far, those of any analogous reference point in the history of civilization. Every hacker, criminal and government with the equipment, minimal expertise, and raw determination to intrude has the capability of bringing harm to both individuals and structures” [13][13]
Potensi destruktif akan sangat besar, mengingat era informasi dimana hampir seluruh dunia sudah terkoneksi dengan tehnologi internet. Segala ketentuan internasional yang ada akan menjadi rancu jika terorisme dilancarkan dengan teknologi komputer.
Ketentuan internasional yang mengatur permasalahan non-armed attack, yaitu penyerangan tanpa kekerasan sangatlah terbatas, salah satu dari sedikit ketentuan yang dapat mengatur tehnologi komputer ini adalah dengan resolusi Majelis Umum PBB no. 3314, pun kekuatan ketentuan ini masih sangat dapat diperdebatkan, “...the use of armed force by a state against the sovereignty, territorial integrity or political independence of another state, or in any manner inconsistent with the Charter...” [14][14]

KEWAJIBAN NEGARA ATAS TERORISME
Berkaitan dengan kewajiban setiap negara untuk memerangi terorisme, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan beberapa resolusi yang secara teori wajib untuk diikuti sebagai anggota dari PBB seperti yang tercantum dalam pasal 25 dari Piagam PBB yaitu “The members of the United Nations agree to accept and carry out the decisions of the Security Council in accordance with the Present Charter”. Salah satu resolusi DK PBB adalah resolusi nomor 1368 tanggal 12 September 2001 yang berisikan :
“Calls those state to work together urgently to bring justice the perpetrators, organizers and sponsors of these terrorist attacks and streesses that those responsible for aiding, supporting or harbouring the perpetrators, organizers and sponsors of these acts will be held accountable” [15][15]

Dari sini dapat dilihat bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi universal berkenaan dengan terorisme. Secara teoritis setiap negara anggota PBB mempunyai kewajiban untuk memerangi terorisme dengan segala cara atau by any means. Akan tetapi, dalam praktik Cina yang menjadi salah satu anggota permanen dari Dewan Keamanan PBB, secara jelas menolak untuk memerangi terorisme dengan membuat proses koalisi dengan negara-negara seperti Libya, Jerman dan Iran.

TRAGEDI 911 WORLD TRADE CENTER (WTC)
Salah satu contoh yang cukup penomenal berkaitan dengan terorisme adalah tragedi 911 WTC di Amerika Serikat. Secara Hukum Internasional, Amerika membenarkan tindakannya melakukan serangan terhadap Afghanistan, bahkan sampai menggulingkan sebuah pemerintahan yang berdaulat. Dasar yang dipakai adalah Resolusi DK-PBB No.1368 tanggal 12 September 2001 dan prinsip Self-Defence yang tercantum dalam pasal 51 Piagam PBB,
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security……” [16][16]
Jika melihat dari tanggal dikeluarkannya resolusi DK PBB No.1368 tersebut yaitu tanggal 12 September 2001, sehari setelah terjadinya tragedi 911, resolusi tersebut adalah resolusi tercepat dalam sejarah yang pernah dikeluarkan oleh PBB. Selain itu kalimat dari armed attack di dalam pasal 51 di atas sangatlah terbatas [17][17]. Arti dari armed attack itu sendiri adalah serangan bersenjata dimana tidak ada fakta yang membuat bahwa tragedi 911 adalah sebuah serangan bersenjata.
Dalam kasus Nikaragua melawan Amerika Serikat, Mahkamah Pengadilan Internasional menilai bahwa tidak ada aturan dalam hukum kebiasaan internasional yang mengizinkan negara lain untuk melakukan hak dari kolektif self-defence dengan dasar penilaiannya sendiri atas situasi yang terjadi [18][18].
Walaupun serangan Amerika Serikat itu mendapat kritik yang sangat tajam, khususnya dari negara-negara Islam atau yang mempunyai mayoritas penduduk Islam, Amerika Serikat tetap melancarkan serangannya untuk mencari Pemimpin gerakan Al-Qaeda yang diduga sebagai dalang dari tragedi 911. Tidak ada penyelesaian secara damai seperti yang tercantum dalam Pasal 2, paragraf 4 dari Piagam PBB, walaupun hal itu adalah suatu kewajiban bagi setiap negara anggota PBB untuk melaksanakannya,
“All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations.” [19][19]

KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA
Kebijakan luar negeri Indonesia adalah Politik Bebas dan Aktif. Bebas disini berarti Indonesia tidak berpihak pada kekuatan dunia, sementara Aktif berarti Indonesia tidak pasif dalam permasalahan internasional, akan tetapi ikut terlibat dan berpartisipasi dalam mencari solusi untuk permasalahan yang ada [20][20]. Berkaitan dengan isu terorisme, Indonesia dengan jelas memperlihatkan sikap memerangi terorisme, sesuai dengan kewajibannya sebagai anggota PBB.
Akan tetapi sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi konvensi internasional yang berkaitan dengan permasalahan terorisme. Hal ini, secara hukum internasional, membuat Indonesia tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan internasional mengenai permasalahan terorisme.

TUDUHAN TERORISME DI INDONESIA
Berkenaan dengan banyaknya tuduhan terorisme terhadap Indonesia karena dianggap sebagai safe heaven bagi para teroris, memang agak pelik untuk dilihat. Secara praktik sebagian besar aksi terorisme mempunyai hubungan terhadap agama Islam dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.
Secara historis hubungan antara terorisme dengan agama sangatlah erat, mulai dari Teroris Yahudi pada masa sebelum kemerdekaan Israel, Gerakan Muslim di Algeria sampai dengan kelompok katholik IRA, bahkan tragedi 911 sendiri mempunyai hubungan erat dengan gerakan Al-Qaeda yang beragamakan Islam. Bahkan Hoffman mengatakan bahwa terorisme yang didasari agama cenderung lebih berbahaya dari terorisme yang berdasarkan politis,
“The emergence of obscure, idiosyncratic millenarian movements, zealously nationalist religious group, and militantly anti-government, far-right paramilitiary organizations arguably represents a different and potentially far more lethal threat than traditional terrorist advesaries; certainly a farmore amorphous and diffuse one” [21][21]
Akan tetapi gerakan-gerakan itu hendaknya jangan dijadikan generalisasi untuk isi dari suatu agama yang ada di dunia, karena permasalahan gerakan terorisme yang berdasarkan pada agama hanya dapat diselesaikan dengan cara berkomunikasi, bukan dengan kekerasan.
Dari sisi hukum, Indonesia berbeda dengan negara seperti Singapura dan Malaysia yang mempunyai Internal Security Act. Indonesia adalah negara yang menganut sistem praduga tidak bersalah dimana jika tidak ada bukti yang substantif, maka seseorang tidak dapat dihukum.

KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai kesimpulan dari penulisan karya ilmiah ini, adalah bahwa penomena terorisme telah menjadi isu global yang mempunyai efek cukup signifikan terhadap semua negara di dunia. Jika tidak diselesaikan secara menyeluruh dalam artian melibatkan semua fihak maka permasalahan ini tidak akan bisa selesai.
Untuk saran atas permasalahan terorisme ini diperlukan adanya pelaksanaan mekanime yang sudah ada di dalam piagam PBB sendiri, yaitu penyelesaian secara damai, pasal 33 yang mengatakan :

“The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, concilliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice”

Baik dari negara yang mendukung aksi teroris untuk alasan-alasan tertentu, maupun negara yang memerangi aksi teroris, harus mempunyai keinginan untuk melaksanakan ketentuan tersebut diatas.
Keuntungan dari pelaksanaan secara damai atau negoisasi tersebut adalah :

1. It will establish channels of communication between the parties.
2. The principal supportive states may influence the refugee group to refrain from violence while the process is under way.
3. A refugee group in the hope of achieving at least some of their political objectives may be inclined to exercise self-restraint.
4 The suppressive states, by showing their willingness to negotiate, may establish their credibility among the international , community, including some supportive states. [22][22]

Selain saran diatas, juga diperlukan sebuah konsistensi sikap atas permasalahan terorisme dalam hukum internasional, sehingga dapat dihindarkan metode standar ganda guna menjaga perdamaian dan keamanan dunia.
Ada tiga jenis remedi untuk permasalahan terorisme yang sering diusulkan oleh para ahli hukum, yaitu [23][23]
1. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa teroris harus diperlakukan seperti layaknya kriminal dan hukuman yang ketat harus dijalankan sesuai dengan ketentuan mengenai terorisme
2. Pendapat lain mengatakan bahwa sebaiknya perjanjian mengenai ekstradisi diperbanyak dan ketentuan mengenai pengecualian atas penyerangan atas dasar politis dipersempit atau bahkan dihapuskan
3. Bahwa negara yang mendukung terorisme harus dihukum
Walaupun banyak tersedia berbagai solusi penyelesaian atas permasalahan terorisme, semua kembali kepada keinginan dari negara-negara di dunia untuk benar-benar mengatasi permasalahan terorisme, karena kunci akan permasalahan terorisme adalah kesepakatan dan konsistensi dari negara-negara di dunia untuk menyelesaikannya.