Aksi terorisme modern internasional yang pertama terjadi pada tanggal 22 Juli 1968, yaitu ketika tiga orang dari kelompok Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) membajak sebuah penerbangan komersil Israel El Al yang sedang terbang dari Roma, Italia ke Tel Aviv, Israel. Aksi ini menjadi sorotan dunia internasional karena secara jelas menggambarkan sebuah kegiatan yang mempunyai tujuan-tujuan politis dan menggunakan kekerasan dalam mewujudkan tujuan tersebut [1][1].
Selang 53 tahun kemudian, tepatnya tanggal 11 September 2001, dunia internasional kembali dikejutkan dengan sebuah aksi terorisme yang fenomenal. Tiga pesawat penerbangan komersil Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakan ke menara kembar Twin Towers World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon. Dikenal dengan sebutan Tragedy 911, kejadian ini menjadi titik tolak persepsi dunia internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk memerangi terorisme.
Kerugian yang disebabkan oleh terorisme adalah sangat signifikan baik secara finansial maupun nyawa [2][2]. Dari sisi inilah kemudian dunia internasional mempunyai kepentingan bersama atau common interests untuk mengatasi permasalahan dari terorisme.
Keinginan bersama ini dituangkan dalam berbagai peraturan internasional, mulai dari Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, atau lebih dikenal dengan Hague Convention tahun 1970 sampai ke Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 1368 tanggal 12 September 2001 yangl berkaitan dengan tragedi 911. Peran hukum internasional, terlepas dari faktor kepatuhan dan pelaksanaannya, menjadi sangat penting mengingat urgensi dari permasalahan terorisme ini.
Secara historis, terorisme mempunyai sejarah yang sangat panjang sampai ke masa Yunani Kuno ketika Xenophon menulis tentang efektifitas perang psikologi terhadap populasi musuh. Setiap aksi terorisme mempunyai tujuan dan motivasi berbeda-beda, mulai dari tujuan umum sampai tujuan khusus yang berbeda menurut keadaannya. Hoffman dalam bukunya menerangkan bahwa :
“The goals and motivations of terrorists…,vary widely, from such grand schemes as the total remaking of society along doctrinaire ideological lines of the fulfilment of some divinely inspired millenarian imperative to comparatively more distinct aims such as the re-establishment of a national homeland or the unification of a divided nation.” [3][3]
Sedikit sulit untuk menentukan secara sosiologis apakah terorisme itu merupakan suatu hal yang negatif atau positif. Pada waktu Revolusi Perancis tahun 1789-1793, terorisme dikenal sebagai suatu konotasi yang positif. Terorisme dikenal sebagai sistem atau regime de la terreur yang pada waktu itu berarti mekanisme untuk menumpas musuh rakyat,
“Hence, unlike terrorism as it is commonly understood today, to mean a revolutionary or anti-government activity undertaken by non-state or subnational entities, the regime de la terreur was an instrument of governance wielded by the recently established revolutionary state. It was designed to consolidate the new government’s power by intimidating counter-revolutionaries, subversives and all other dissidents whom the new regime regarded as ‘enemies of the people’.” [4][4]
Hal ini berbeda dengan pengertian umum tentang terorisme sekarang ini, yaitu antara lain adalah sebuah kebijakan untuk menyerang orang-orang yang melawan kebijakan tersebut, penggunaan metode intimidasi, meneror ataupun kondisi yang terteror [5][5]. Dari penjelasan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa telah terjadi sebuah perubahan makna yang cukup fundamental dengan istilah terorisme secara umum.
Terlebih lagi jika terorisme dikaitkan dengan agama sebagai dasar untuk melakukan aksi terorisme tersebut. Ketika kekecewaan secara internasional untuk sebuah perlakuan adil tereskalasi sehingga pada satu titik puncak dimana hal tersebut menjadi alasan pembenar untuk meminta keadilan versi dirinya sendiri. Segala tindakan yang bersifat ketidakadilan digunakan untuk meminta keadilan yang tidak terpuaskan. Dari sinilah timbul aksi-aksi yang mempunyai potensi destruktif yang lebih dikenal dengan istilah terorisme.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, tulisan ini akan lebih menekankan pada aspek hukum internasional mengenai terorisme. Aspek tersebut menyangkut baik tentang teori maupun praktek dari hukum internasional yang berkaitan dengan terorisme dengan mengambil contoh tragedi 911 di Amerika Serikat. Kemudian setelah itu akan dilihat dari sisi negara Indonesia dan segala tuduhan akan terorisme dari beberapa negara di dunia. Perumusan masalah tulisan ini adalah sebagai berikut \
1. Bagaimana terorisme muncul sebagai suatu gerakan yang mempunyai potensi destruktif yang sangat besar, termasuk dalam pertanyaan ini adalah mengenai motif dan tujuan dari terorisme ?
2. Bagaimana dunia internasional melalui hukum internasional mengatur mengenai terorisme dan implikasi hukum apa saja yang timbul akibat pengaturan internasional tersebut ?
3. Bagaimana sikap dan kebijakan politik luar negeri Indonesia berkaitan dengan permasalahan terorisme dan segala tuduhan yang menyangkut terorisme di Indonesia ?
DEFINISI TERORISME
Terorisme Secara Umum
Pada saat ini tidak ada definisi hukum secara universal mengenai istilah terorisme. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan mengenai pelaksanaan suatu aturan kepada suatu hal yang belum jelas definisi hukumnya. Pembuktian akan suatu hal akan menjadi sulit ketika hal tersebut belum mempunyai definisi secara hukum.
Kurang lebih ada lima usulan definisi tentang terorisme, baik dari negara-negara maupun organisasi internasional seperti PBB. Dari kelima usulan tersebut, usulan yang mempunyai cakupan lebih luas adalah usulan dari konsensus akademis tahun 1999, yaitu :
“Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby—in contrast to assassination—the direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threat—and violence—based communication processes between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought” [6][6]
Sedikitnya ada tiga elemen yang harus dipenuhi untuk dapat memenuhi unsur definisi diatas, yaitu Motif Politik, Rencana atau Niat, dan Penggunaan Kekerasan.
Jika dicermati definisi hukum terorisme ini, maka dapat dilihat bahwa definisi ini hanya melihat dari sisi aksi kekerasan atau violent action dari terorisme. Hal ini dapat diartikan bahwa jika sebuah tindakan yang tidak memakai aksi kekerasan tetapi mempunyai efek yang sama, tidak masuk dalam definisi hukum tersebut diatas. Secara hipotetis, jika seorang ahli komputer menyerang atau melakukan hacking, terhadap sebuah alat transportasi massal, yaitu kereta api yang memakai sistem komputer. Tindakannya berakibat bertabrakannya dua buah kereta api tersebut sehingga menimbulkan korban jiwa, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan ahli komputer tersebut tidak masuk dalam kategori aksi terorisme karena dia tidak melakukan tindakan kekerasan yang diharuskan dalam definisi hukum diatas.
Dalam kerangka hukum internasional, sebuah perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional [7][7], hanya dapat berlaku untuk suatu negara jika negara itu tunduk pada perjanjian tersebut atau consent to be bound [8][8]. Jika dikaitkan dengan permasalahan definisi hukum terorisme, maka secara teoritis dapat dengan mudah diambil suatu ketundukan pada suatu definisi hukum akan terorisme. Akan tetapi secara praktis, sangatlah sulit untuk melihat ketundukan suatu negara terhadap sebuah perjanjian internasional, mengingat posisi setiap negara yang mempunyai kedaulatan yang sama [9][9] dalam hukum internasional dan setiap negara harus menghormati kedaulatan negara lain [10][10].
Pihak dalam Terorisme
Dalam praktik setidaknya ada tiga pihak yang selalu berkaitan dengan terorisme, yaitu grup teroris itu sendiri, negara yang mendukung teroris, dan negara yang memerangi teroris. Baik negara yang mendukung maupun memerangi terorisme dapat dikatakan sebagai sesuatu yang pasti ada dalam terorisme. Peran kedua negara ini sangatlah berbeda, yaitu bahwa negara yang mendukung terorisme akan memberikan safe heaven, atau kemudahan baik dalam bentuk dukungan maupun materil, sementara negara yang memerangi adalah negara yang menolak dengan segala cara baik dengan menangkap ataupun menghukum terorisme.
Perbedaan ideologi ditambah dengan kepentingan politik membuat kesenjangan yang sudah ada menjadi lebih runcing dan memicu adanya gerakan terorisme [11][11]. Pada akhirnya, mungkin gerakan terorisme menjadi sebuah gerakan semu yang sudah terpengaruh dengan ideologi negara yang mendukung gerakan tersebut.
PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG TERORISME
Konvensi Internasional
PBB sebagai salah satu organisasi internasional di dunia telah menjadi pusat pengkajian akan perjanjian-perjanjian internasional yang berkenaan dengan terorisme. Ada 12 perjanjian internasional yang berkaitan dengan terorisme, walaupun sangat terbatas, yaitu [12][12] :
1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (“Tokyo Convention,” 1963).
2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague Convention,” 1970)
3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (“Montreal Convention,” 1971)
4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973)
5. International Convention Against the Taking of Hostages (“Hostages Convention,” 1979)
6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials Convention,” 1980)
7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, (1988)
8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (1988)
9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988)
10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection (1991)
11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997 UN General Assembly Resolution)
12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (1999) Cyber-terorisme
Selain kurang efektifnya pengaturan internasional karena didasarkan pada pelaksanaannya yang masih sangat memprihatinkan, dunia internasional nampaknya harus bekerja keras untuk memprediksi jenis aksi-aksi terorisme di masa depan. Aksi terorisme di masa depan dapat dipastikan lebih destruktif dengan cara yang lebih modern, yaitu tehnologi komputer.
Untuk saat ini belum ada konvensi internasional yang mengatur mengenai terorisme dengan alat tehnologi komputer, atau lebih dikenal dengan cyber-terorisme. Ketergantungan dunia yang global akan komputer membuat rentan sistem akses pada teknologi internet,
“The vulnerabilities created by access to information, and to information architecture, outstrip by far, those of any analogous reference point in the history of civilization. Every hacker, criminal and government with the equipment, minimal expertise, and raw determination to intrude has the capability of bringing harm to both individuals and structures” [13][13]
Potensi destruktif akan sangat besar, mengingat era informasi dimana hampir seluruh dunia sudah terkoneksi dengan tehnologi internet. Segala ketentuan internasional yang ada akan menjadi rancu jika terorisme dilancarkan dengan teknologi komputer.
Ketentuan internasional yang mengatur permasalahan non-armed attack, yaitu penyerangan tanpa kekerasan sangatlah terbatas, salah satu dari sedikit ketentuan yang dapat mengatur tehnologi komputer ini adalah dengan resolusi Majelis Umum PBB no. 3314, pun kekuatan ketentuan ini masih sangat dapat diperdebatkan, “...the use of armed force by a state against the sovereignty, territorial integrity or political independence of another state, or in any manner inconsistent with the Charter...” [14][14]
KEWAJIBAN NEGARA ATAS TERORISME
Berkaitan dengan kewajiban setiap negara untuk memerangi terorisme, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan beberapa resolusi yang secara teori wajib untuk diikuti sebagai anggota dari PBB seperti yang tercantum dalam pasal 25 dari Piagam PBB yaitu “The members of the United Nations agree to accept and carry out the decisions of the Security Council in accordance with the Present Charter”. Salah satu resolusi DK PBB adalah resolusi nomor 1368 tanggal 12 September 2001 yang berisikan :
“Calls those state to work together urgently to bring justice the perpetrators, organizers and sponsors of these terrorist attacks and streesses that those responsible for aiding, supporting or harbouring the perpetrators, organizers and sponsors of these acts will be held accountable” [15][15]
Dari sini dapat dilihat bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi universal berkenaan dengan terorisme. Secara teoritis setiap negara anggota PBB mempunyai kewajiban untuk memerangi terorisme dengan segala cara atau by any means. Akan tetapi, dalam praktik Cina yang menjadi salah satu anggota permanen dari Dewan Keamanan PBB, secara jelas menolak untuk memerangi terorisme dengan membuat proses koalisi dengan negara-negara seperti Libya, Jerman dan Iran.
TRAGEDI 911 WORLD TRADE CENTER (WTC)
Salah satu contoh yang cukup penomenal berkaitan dengan terorisme adalah tragedi 911 WTC di Amerika Serikat. Secara Hukum Internasional, Amerika membenarkan tindakannya melakukan serangan terhadap Afghanistan, bahkan sampai menggulingkan sebuah pemerintahan yang berdaulat. Dasar yang dipakai adalah Resolusi DK-PBB No.1368 tanggal 12 September 2001 dan prinsip Self-Defence yang tercantum dalam pasal 51 Piagam PBB,
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security……” [16][16]
Jika melihat dari tanggal dikeluarkannya resolusi DK PBB No.1368 tersebut yaitu tanggal 12 September 2001, sehari setelah terjadinya tragedi 911, resolusi tersebut adalah resolusi tercepat dalam sejarah yang pernah dikeluarkan oleh PBB. Selain itu kalimat dari armed attack di dalam pasal 51 di atas sangatlah terbatas [17][17]. Arti dari armed attack itu sendiri adalah serangan bersenjata dimana tidak ada fakta yang membuat bahwa tragedi 911 adalah sebuah serangan bersenjata.
Dalam kasus Nikaragua melawan Amerika Serikat, Mahkamah Pengadilan Internasional menilai bahwa tidak ada aturan dalam hukum kebiasaan internasional yang mengizinkan negara lain untuk melakukan hak dari kolektif self-defence dengan dasar penilaiannya sendiri atas situasi yang terjadi [18][18].
Walaupun serangan Amerika Serikat itu mendapat kritik yang sangat tajam, khususnya dari negara-negara Islam atau yang mempunyai mayoritas penduduk Islam, Amerika Serikat tetap melancarkan serangannya untuk mencari Pemimpin gerakan Al-Qaeda yang diduga sebagai dalang dari tragedi 911. Tidak ada penyelesaian secara damai seperti yang tercantum dalam Pasal 2, paragraf 4 dari Piagam PBB, walaupun hal itu adalah suatu kewajiban bagi setiap negara anggota PBB untuk melaksanakannya,
“All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations.” [19][19]
KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA
Kebijakan luar negeri Indonesia adalah Politik Bebas dan Aktif. Bebas disini berarti Indonesia tidak berpihak pada kekuatan dunia, sementara Aktif berarti Indonesia tidak pasif dalam permasalahan internasional, akan tetapi ikut terlibat dan berpartisipasi dalam mencari solusi untuk permasalahan yang ada [20][20]. Berkaitan dengan isu terorisme, Indonesia dengan jelas memperlihatkan sikap memerangi terorisme, sesuai dengan kewajibannya sebagai anggota PBB.
Akan tetapi sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi konvensi internasional yang berkaitan dengan permasalahan terorisme. Hal ini, secara hukum internasional, membuat Indonesia tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan internasional mengenai permasalahan terorisme.
TUDUHAN TERORISME DI INDONESIA
Berkenaan dengan banyaknya tuduhan terorisme terhadap Indonesia karena dianggap sebagai safe heaven bagi para teroris, memang agak pelik untuk dilihat. Secara praktik sebagian besar aksi terorisme mempunyai hubungan terhadap agama Islam dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.
Secara historis hubungan antara terorisme dengan agama sangatlah erat, mulai dari Teroris Yahudi pada masa sebelum kemerdekaan Israel, Gerakan Muslim di Algeria sampai dengan kelompok katholik IRA, bahkan tragedi 911 sendiri mempunyai hubungan erat dengan gerakan Al-Qaeda yang beragamakan Islam. Bahkan Hoffman mengatakan bahwa terorisme yang didasari agama cenderung lebih berbahaya dari terorisme yang berdasarkan politis,
“The emergence of obscure, idiosyncratic millenarian movements, zealously nationalist religious group, and militantly anti-government, far-right paramilitiary organizations arguably represents a different and potentially far more lethal threat than traditional terrorist advesaries; certainly a farmore amorphous and diffuse one” [21][21]
Akan tetapi gerakan-gerakan itu hendaknya jangan dijadikan generalisasi untuk isi dari suatu agama yang ada di dunia, karena permasalahan gerakan terorisme yang berdasarkan pada agama hanya dapat diselesaikan dengan cara berkomunikasi, bukan dengan kekerasan.
Dari sisi hukum, Indonesia berbeda dengan negara seperti Singapura dan Malaysia yang mempunyai Internal Security Act. Indonesia adalah negara yang menganut sistem praduga tidak bersalah dimana jika tidak ada bukti yang substantif, maka seseorang tidak dapat dihukum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai kesimpulan dari penulisan karya ilmiah ini, adalah bahwa penomena terorisme telah menjadi isu global yang mempunyai efek cukup signifikan terhadap semua negara di dunia. Jika tidak diselesaikan secara menyeluruh dalam artian melibatkan semua fihak maka permasalahan ini tidak akan bisa selesai.
Untuk saran atas permasalahan terorisme ini diperlukan adanya pelaksanaan mekanime yang sudah ada di dalam piagam PBB sendiri, yaitu penyelesaian secara damai, pasal 33 yang mengatakan :
“The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, concilliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice”
Baik dari negara yang mendukung aksi teroris untuk alasan-alasan tertentu, maupun negara yang memerangi aksi teroris, harus mempunyai keinginan untuk melaksanakan ketentuan tersebut diatas.
Keuntungan dari pelaksanaan secara damai atau negoisasi tersebut adalah :
1. It will establish channels of communication between the parties.
2. The principal supportive states may influence the refugee group to refrain from violence while the process is under way.
3. A refugee group in the hope of achieving at least some of their political objectives may be inclined to exercise self-restraint.
4 The suppressive states, by showing their willingness to negotiate, may establish their credibility among the international , community, including some supportive states. [22][22]
Selain saran diatas, juga diperlukan sebuah konsistensi sikap atas permasalahan terorisme dalam hukum internasional, sehingga dapat dihindarkan metode standar ganda guna menjaga perdamaian dan keamanan dunia.
Ada tiga jenis remedi untuk permasalahan terorisme yang sering diusulkan oleh para ahli hukum, yaitu [23][23]
1. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa teroris harus diperlakukan seperti layaknya kriminal dan hukuman yang ketat harus dijalankan sesuai dengan ketentuan mengenai terorisme
2. Pendapat lain mengatakan bahwa sebaiknya perjanjian mengenai ekstradisi diperbanyak dan ketentuan mengenai pengecualian atas penyerangan atas dasar politis dipersempit atau bahkan dihapuskan
3. Bahwa negara yang mendukung terorisme harus dihukum
Walaupun banyak tersedia berbagai solusi penyelesaian atas permasalahan terorisme, semua kembali kepada keinginan dari negara-negara di dunia untuk benar-benar mengatasi permasalahan terorisme, karena kunci akan permasalahan terorisme adalah kesepakatan dan konsistensi dari negara-negara di dunia untuk menyelesaikannya.
No comments:
Post a Comment